Jumat, 30 Desember 2011

VALIDITAS DAN RELIABILITAS

Pada penelitian kuantitatif selalu bergantung pada dua alat ukur, yaitu validitas dan reliabilitas. Validitas menunjukkan sejauh mana nilai/ukuran yang diperoleh benar-benar menyatakan hasil pengukuran/pengamatan yang ingin diukur. Sedangkan reliabilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan.

VALIDITAS
Validitas sebuah tes menyangkut apa yang diukur tes dan seberapa baik tes itu bisa mengukur. Validitas sebuah tes memberitahu kita tentang apa yang bisa kita simpulkan dari skor-skor tes. Menilai validitas adalah penting bagi peneliti karena sebagian besar instrumen yang digunakan dalam penyelidikan pendidikan dan psikologis dirancang untuk mengukur konstruksi hipotetis. Pada dasarnya, semua prosedur untuk menentukan validitas tes berkaitan dengan hubungan antara kinerja pada tes dan fakta-fakta lain yang dapat diamati secara independent tentang ciri-ciri prilaku.
Bukti hubungan antara tes dan kriteria yang relevan berfokus pada pertanyaan “Bagaimana kriteria kinerja secara akurat dapat diperkirakan dari nilai pada tes?” Kriteria adalah beberapa hasil penting untuk pengujian. Kriteria harus juga mewakili atribut yang diukur atau yang lain yang akan digunakan. Yang dimaksudkan dengan koefisien validitas adalah korelasi antara skor tes dan pengukuran kriteria. Karena memberikan indeks numerik tunggal validitas tes, koefisien validitas umumnya digunakan dalam pegangan-pegangan-pegangan tes untuk melaporkan validitas sebuah tes menurut tiap kriteria dari data yang tersedia.
Sebelumnya kita mendeskripsikan sebagai validasi konvergen dan kemudian sebagai validasi diskriminan. Korelasi sebuah tes penalaran kuantitatif dengan nilai-nilai selanjutnya dalam mata pelajaran matematika akan menjadi contoh validasi konvergen. Untuk tes yang sama, validitas diskriminan akan dibuktikan oleh korelasi rendah dan tidak signifikan.

RELIABILITAS
Reliabilitas berarti konsistensi tes mengukur apa yang seharusnya diukur. Realibilitas tes perlu, tetapi tidak memadai sebagai syarat validitas tes. Agar supaya tes valid, maka dia harus reliabel. Namun demikian tes yang reliabel belum tentu valid.
Reabilitas merujuk pada konsitensi skor yang di capai oleh orang yang sama ketika mereka diuji-ulang dengan tes yang sama pada kesempatan yang berbeda, atau dengan seperangkat butir-butir ekuivalen (equivalent items) yang berbeda, atau di bawa kodisi pengujian yang berbeda. Konsep reliabilitas ini mendasari perhitungan kesalahan pengukuran atas skor tunggal, yang bisa kita pakai untuk memprediksi kisaran fluktuasi yang mungkin muncul dalam skor individual sebagai hasil dari faktor-faktor peluang yang tak diketahui atau irrelevan.
Dalam pengertian yang paling luas, reliabilitas tes menunjukkan sejauh mana perbedaan-perbedaan individual dalam skor tes dapat dianggap sebagai disebabkan oleh perbedaan yang sesungguhnya dalam karateristik yang dipertimbangkan dan sejauh mana dapat dianggap disebabkan oleh kesalahan peluang. Untuk menempatkannya dalam istilah yang lebih teknis, ukuran-ukuran reliabilitas tes memungkinkan untuk memperkirakan berapa proporsi dari varians total skor-skor tes yang merupakan varians kesalahan.
Pada dasarnya, koefisien korelasi (r) menyatakan derajat kesesuaian atau hubungan, antara dua perangkat skor. Dengan demikian, jika individu dengan skor top pada variabel 1 juga mendapatkan skor top pada variabel 2, individu nomor dua pada variabel dua dan seterisnya sampai pada individu paling buruk skornya dalam kelompok, lalu akan ada korolasi sempurna pada variabel 1 dan 2. korelasi seperti akan memiliki nilai + 1,00.

Ada tiga kategori koefisien reliabilitas, yaitu :
# Reliabilitas test-Retes
Menggunakan sebuah instrumen, namun diteskan dua kali. Hasil atau skor pertama dan kedua kemudian dikorelasikan untuk mengetahui besarnya indeks reliabilitas. Teknik perhitungan yang digunakan sama dengan yang digunakan yaitu rumus korelasi Pearson.
# Reliabilitas Bentuk-Alternatif
Sejak awal peneliti harus sudah menyusun dua perangkat instrumen yang paralel (ekuivalen), yaitu dua buah instrumen yang disusun berdasarkan satu kisi-kisi. Setiap butir soal dari instrumen yang satu selalu harus dapat dicarikan pasangannya dari instrumen kedua. Kedua instrumen tersebut diujicobakan semua. Sesudah kedua uji coba terlaksana, maka hasil kedua instrumen tersebut dihitung korelasinya dengan menggunakan rumus product moment (korelasi Pearson). Korelasi antara skor-skor yang didapatakan pada dua bentuk itu merupakan koefisien reliabilitas tes.

# Konsistensi Internal Ukuran Reliabilitas
Reliabilitas Belah-Separuh (Split-Half Reliability).
Peneliti boleh hanya memiliki seperangkat instrumen saja dan hanya diujicobakan satu kali, kemudian hasilnya dianalisis, yaitu dengan cara membelah seluruh instrumen menjadi dua sama besar.
Dilain pihak dalam reliablitas tes-retes dan reliabilitas bentuk-alternatif, tiap skor didasarkan pada jumlah soal penuh pada tes. Jika semua hal sama, semakin panjang sebuah tes, semakin dapat dihandalkan tes itu. Efek yang akan dihasilkan pada koefisiennya dengan memperpanjang atau memperpendek sebuah tes, dapat diperkirakan dengan rumus Spearman-Browon.

Kamis, 29 Desember 2011

filsafat abad pertengahan

PENDAHULUAN
Permulaan Abad Pertengahan barangkali dapat dimulai sejak Plotinius. Pada Plotinius (lahir 204 M), pengaruh agama Kristen kelihatannya sudah besar; filsafatnya berwatak spiritual.
Pada bab ini uraian akan dimulai dengan penjelasan tentang pemikiran Plotinius. Kemudian beberapa tokoh utama Abad pertengahan diuraikan juga, tetapi jelas tidak semuanya. Augustinus yang mempunyai ajaran khas, Aquinas yang terkenal dengan lima dalil tentang adanya Tuhan, Anselmus yang mengeluarkan istilah credo ut intelligam. Secara ringkas Plotinus adalah filosof pertama yang mengajukan teori penciptaan alam semesta. Ia mengajukan teori emanasi yang terkenal itu. Filsafat Plotinus kebanyakan bernapas mistik, bahkan tujuan filsafat menurut pendapatnya adalah mencapai pemahaman mistik.

PLOTINUS
Kehidupan Plotinus
            Plotinus di lahirkan pada tahun 204 di Mesir, mungkin di daerah Lycopolis. Pada tahun 232 ia pergi ke Alexandria untuk belajar filsafat, pada seorang guru benama Animonius Saccas, selama 11 tahun. Pada tahun 243 ia mengikuti Raja Gordianus III berperang melawan Persia. Akan tetapi, sebelum dia sempat mempelajarinya, Raja Gordianus terbunuh pada tahun 244. pada umur 40 tahun dia pergi ke Roma. Di sana ia menjadi pamikir terkenal pada zaman itu. Tahun 270 ia meninggal di Minturnae, Campania, Itali. Muridnya yang bernama Porphyry mengumpulkan tulisannya yang berjumlah 54 karangan.
Metafisika Plotinius
            Sitem metafisika Plotinus di tandai oleh konsep transedens. Menurup pendapatnya, di dalam pikiran terdapat tiga realitas: The One, The Mind, dan The Soul.
            The One (Yang Esa) adalah Tuhan dalam pandangan Philo yaitu suatu realitas yang tidak mungkin dapat di pahami melalui metode sains dan logika.
            The Mind adalah gambaran tentang yang Esa dan di dalamnya mengandung idea-idea Plato. Idea-idea itu merupakan bentuk asli objek-objek.
            The Soul adalah realitas ke tiga dalam filsafat Plotinus. Sebagai arsitek semua fenomena yang ada di alam ini, Soul itu mengandung satu jiwa dunia dan bayak dunia kecil. Jiwa dunia dapat dilihat dua aspek, ia adalah energi di belakang dunia, dan pada waktu yang sama ia adalah bentuk-bentuk alam semesta.
            Teori tentang tiga realitas ini mengingatkan kita kepada teologi trinitas yang dianut oleh kristen, tampak sekali banyak persamaannya. Teologi trinitas itu pada masa Plotinus memang sedang dalam pembentukannya, atau katakanlah sedang dalam perumusan. Pusat dokrin tentang Tuhan dalam agama Kristen adalah bahwa Tuhan berada di dalam Tiga Pribadi, yaitu Bapak, Anak, dan Roh Kudus. Akan tetapi, pada waktu yang sama Gereja Kristen menyatakan bahwa Tuhan itu esa dalam substansinya; hal itu merupakan misteri yang berada di atas pemahaman akal logis manusia.

THOMAS AQUINAS

Thomas Aquinas adalah filsuf dan teolog Abad Pertengahan Eropa terbesar. Abad Pertengahan di Eropa adalah zaman keemasan bagi kristianitas. Alam pikir dalam masa ini juga kerap mendapat reaksi keras dari masa-masa sesudahnya, yaitu abad-abad modern. Salah satu usaha yang menjadi minat besar para filsuf abad ini adalah menyelaraskan iman dan rasio. Thomas Aquinas berhasil mempersatukan ajaran-ajaran Augustinus yang sampai saat itu menentukan pemikiran di Eropa, dengan filsafat Aristoteles, dan dengan demikian memberikan impuls-impuls baru bagi kehidupan intelektual di Barat. Sejak Thomas Aquinas, filsafat mulai berkembang sebagai ilmu tersendiri.   
Thomas dilahirkan di Rocca Sicca di Italia pada tahun 1225. Di masa sekolahnya, tubuhnya yang berat dan lamban menyebabkan dia mendapat julukan "lembu bebal". Di tahun-tahun kemudian tulisan-tulisannya sangat banyak, sangat luas dalam jangkauan maupun tingkat kepentingannya, sehingga ia memperoleh sebutan Doktor Malaikat (Angelic Doctor). Pengaruhnya telah menjadi sangat luas sehingga pada waktu-waktu kemudian ia disebut sebagai Doktor Umum (Common Doctor) dari Gereja Katolik.
Menjelang usia 20 tahun ia bergabung dengan tarekat Santo Dominikus dan menjadi murid Albertus Magnus di Paris dan Köln. Setelah studinya selesai ia mengajar teologi di Universitas Paris dan Köln dan di berbagai tempat lain di Italia. Ia meninggal dalam usia 49 tahun pada 1274 di biara Fossanuova dalam perjalanannya ke Muktamar Gereja di Lyon. Thomas Aquinas menjadikan Aristoteles dasar pemikirannya tetapi dengan tidak menyingkirkan gagasan-gagasan dasar Augustinus. Ia memperlihatkan bahwa atas dasar kerangka pikiran Aristoteles, teologi Augustinus dapat diberi pendasaran yang lebih mantap.
Dua karya utama Thomas adalah berupa Summae, artinya ikhtisar teologi dan filsafat yang sangat luas. Summae contra Gentilis disusun dan dimaksudkan sebagai sebuah buku pelajaran (textbook) bagi para misionaris. Summae Theologiae (yang edisi kritis terkahirnya sampai terdiri dari 60 jilid) telah digambarkan sebagai "prestasi tertinggi dari sistem teologis Abad Pertengahan dan dasar yang diterima untuk teologi Katolik Roma modern". Memang, karya-karya Thomas termasuk sebagai karangan-karangan terpenting dari seluruh kesusasteraan kristiani. Dalam karya-karyanya yang kebanyakan bersifat teologis, terdapat suatu sintesis filsafat yang mencolok, sintesis yang belum pernah ada.
Meskipun Thomas mempunyai maksud utama untuk menciptakan suatu teologi, ia tetap mengakui otonomi filsafat yang mendasarkan diri kepada kemampuan akal budi yang dimiliki manusia demi kodratnya. Menurutnya, akal memampukan manusia untuk mengenali kebenaran dalam kawasannya yang alamiah. Sedangkan teologi memerlukan wahyu adikodrati. Berkat wahyu adikodrati, teologi dapat mencapai kebenaran yang bersifat misteri dalam arti ketat (misalnya, hal trinitas, inkarnasi, sakramen). Oleh karena itu teologi memerlukan iman. Iman adalah suatu sikap penerimaan atas dasar wibawa Allah. Dengan beriman manusia dapat mencapai pengetahuan yang mengatasi akal, pengetahuan yang tidak dapat ditembus oleh akal semata. Meskipun misteri ini mengatasi akal, ia tidak bertentangan dengan akal. Ia tidak anti akal. Dan meskipun akal tidak dapat menemukan misteri, akal dapat meratakan jalan yang menuju ke misteri.
Dengan perkataan lain, Thomas memperlihatkan adanya dua macam pengetahuan yang tidak saling bertentangan melainkan berdiri sendiri secara berdampingan. Pengetahuan itu adalah pengetahuan alamiah dan pengetahuan iman. Pengetahuan alamiah berpangkal pada terang akal budi dan yang sasarannya adalah hal-hal yang bersifat insani dan umum. Pengetahuan iman berpangkal pada wahyu adikodrati dan yang sasarannya adalah hal-hal yang diwahyukan Allah secara khusus, yang disampaikan kepada kita melalui kitab suci di dalam tradisi Gereja. Meskipun begitu perlu dicatat juga bahwa ada hal-hal yang termasuk baik bidang filsafat maupun teologi (misalnya, pengetahuan tentang Allah dan jiwa). Karena itu, filsafat dan teologi dapat diumpamakan dengan dua buah lingkaran yang - sekalipun yang satu berada di luar yang lain - bagian tepinya ada yang bertindihan.
Dua pokok pengajaran yang berhubungan dengan diskusi-diskusi sekarang ini adalah: Pertama, bukti-bukti tentang keberadaan Allah (supaya tahu bahwa Allah itu ada), dan Kedua, ajarannya mengenai analogi (supaya tahu beberapa sifat Allah).
Thomas memang berpendapat bahwa rasio insani dapat mengenal adanya Allah, meskipun secara tidak langsung melainkan hanya melalui ciptaan-ciptaan. Oleh karena itu ia menolak pembuktian yang diberikan oleh Anselm dengan argumentasi "ontologis"-nya yang bersifat apriori.
Istilah ontologi merupakan cabang filsafat mengenai keberadaan. Tetapi istilah argumentasi ontologis biasanya digunakan untuk argumentasi akan perlunya keberadaan Allah, yang tidak bergantung atas fakta-fakta yang nampak atau kelihatan melainkan atas implikasi dari ide-ide tertentu. Pernyataan Anselm mengenai hal itu muncul dalam Proslogion-nya. Di sini Anselm berusaha menyusun suatu pemaparan logis tentang eksistensi (keberadaan) Allah. Ia menggambarkan Allah sebagai Yang terbesar yang dapat dipikirkan (tidak ada yang lebih besar dari-Nya yang dapat dipikirkan). Argumentasinya biasa dipikirkan sebagai suatu usaha menarik kesimpulan tentang keberadaan Allah dari gagasan mengenai keberadaan yang paling sempurna. Tidak dapat disangkal bahwa orang-orang memiliki konsep mengenai satu keberadaan yang sempurna seperti itu di dalam pikiran mereka. Maka bagaimana mungkin konsep semacam demikian bisa muncul kalau tidak ada keberadaan yang seperti itu? Kalau itu hanya suatu konsep di dalam pikiran dan tidak benar-benar ada, maka itu tidak mungkin keberadaan yang paling sempurna. Sebab mengurangi kualitas eksistensi akan berarti bahwa pribadi itu tidak sempurna. Menurut tafsiran umum, Anselm menerima sebagian dari teologi natural/kodrati/metafisik (natural theology-cabang filsafat; artinya bukan teologi/teologi wahyu/revealed theology-bukan cabang filsafat). Ia berusaha membuktikan keberadaan Allah tanpa memperhatikan iman serta pengajaran kristen. Ia mencoba menemukan beberapa konsep umum di mana baik orang-orang percaya maupun tidak percaya dapat diteguhkan dengan harapan: "memenangkan" mereka yang tidak percaya, dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa percaya terhadap Allah bukanlah sesuatu khayalan belaka. Sikapnya ialah: Buktikan dulu kemudian Anda boleh percaya. Ini mengambil semacam proses dua langkah dalam apologetika. Langkah pertama adalah memakai filsafat untuk meletakkan dasar-dasar; langkah kedua adalah memperkenalkan iman Kristen di atas kekuatan argumentasi-argumentasi filsafat. Kesulitannya memang, jika langkah pertama gagal, langkah kedua akan tinggal terkatung-katung di udara, dan kita dibiarkan berpikir-pikir apakah ada alasan-alasan yang tepat untuk menerimanya.

EPIKUROS
Epikuros lahir pada tahun 314 SM di Samos, Yunani dan meninggal di Athena pada tahun 270. Ia seorang pribadi yang halus, luhur, dan memikat. Ia dipuji karena kesederhanaannya, sikapnya yang lemah lembut, kebaikan hatinya, dan paham persahabatannya yang mendalam. Ucapan-ucapannya boleh dibilang dikeramatkan oleh murid-muridnya. Sayangnya, lebih dari 300 tulisannya yang tidak hilang hanyalah beberapa potongan. Lain halnya dengan Plato dan Aristoteles, Epikuros dan murid-muridnya tidak berminat memikirkan apalagi terjun ke dalam bidang politik. Sekitar tahun 300 SM, Epikuros mendirikan sebuah sekolah filsafat Athena dengan nama "Epikureanisme". Nama ini kemudian akan menjadi salah satu aliran besar filsafat Yunani sesudah Aristoteles, di mana proses perjalanan dalam panggung sejarah filsafat Barat Klasik diakhiri pada masa Hellenis. Zaman Epikuros adalah permulaan Hellenisme. Masa ini ditandai dengan kehadiran Alexander Agung pada abad IV yang menjadikan Yunani sebagai bangsa besar lengkap dengan kebudayaannya yang menghilangkan posisi polis.
Inti Ajaran
"Kebahagiaan hidup adalah kenikmatan," demikian inti ajaran yang disampaikan oleh Epikuros. Kenikmatan adalah satu-satunya yang baik, sekaligus awal dan tujuan hidup yang membahagiakan. Maka segala macam keutamaan hanya berarti sejauh membawa seseorang kepada kenikmatan.
Apa itu kenikmatan? Kenikmatan, menurut Epikuros, sebagai keadaan tidak adanya rasa sakit dan kegelisahan. Memang kenikmatan yang perlu diperoleh ialah inderawi juga namun yang lebih utama adalah ketenangan jiwa. Selanjutnya, ia menganjurkan agar untuk mencapai ketenangan jiwa, seseorang perlu menjauhkan diri dari hidup berpolis. Polis memiliki risiko tinggi terhadap ketenangan jiwa. Sebaliknya, dengan menjalin relasi dan persahabatan dengan rekan-rekan akan lebih menunjang tercapainya ketenangan jiwa. Epikuros juga tidak segan-segan menyarankan seseorang untuk mati raga dalam memuaskan kenikmatan yang bersifat sementara untuk mencapai kenikmatan yang bersifat "lebih menguntungkan".
Basis Argumen
Agar kenikmatan tercapai maka perlu disingkirkan beberapa hal. Pertama, dengan berangkat dari teori atom Democritos yakni bahwa seluruh realitas terbentuk dari gugusan atom, Epikuros menambahkan bahwa tidak semua atom-atom itu bergerak membentuk garis linear ke bawah. Ini berarti bahwa ada atom-atom yang entah mengapa jatuh dengan gerak yang melenceng. Di satu pihak, pelbagai kejadian alam berlangsung mekanis. Sedangkan di lain pihak, adanya atom yang bergerak melenceng membuktikan adanya takdir. Takdir yang dimaksud sebagai ketentuan dewata yang secara mutlak mengarahkan gerak segala sesuatu termasuk tindakan dan nasib manusia.
Kedua, sikap takut kepada para dewa dan kepada kematian juga perlu disingkirkan sebab keduanya tidaklah beralasan. Para dewa tidak memiliki hubungan dengan segala kejadian di dunia ini termasuk dengan manusia. Mereka adalah makhluk abadi yang tinggal di alam "sana". Maka manusia tidak perlu takut kepada para dewa hanya untuk mendapatkan kenikmatan. Demikian juga rasa takut kepada kematian. Kemampuan untuk merasakan sesuatu ialah ciri dari hal yang bersifat sementara. Dengan ini, bila terjadi kematian, maka secara total manusia mengalami ketidakmampuan untuk merasakan sesuatu. Selama kita masih hidup kita masih hidup dan merasakan sesuatu. Sedangkan saat kematian tiba maka kita sudah tidak mampu lagi merasakan apa pun.

AUGUSTINUS

Pada pertengahan abad pertama muncul juga Gereja Kristiani. Penyebaran ajaran iman Kristiani dan kesatuan umatnya cukup didukung dengan adanya kebudayaan Helenisme dan kesatuan serta semua fasilitasi (misalnya perjalanan) dalam Kerajaan Roma. Meskipun demikian, terjadi pertentangan juga karena orang Kristiani tidak ikut dalam pendewaan kaisar yang dituntut bagi semua warga demi kesatuan dan kemuliaan Kerajaan Roma. Ini mengakibatkan pengejaran dan penganiayaan atas orang Kristiani. Meskipun demikian, selama beberap periode, Gereja cukup berkembang di seluruh wilayah Roma (dan di sebelah Timur: Persia, India). Setelah penganiayaan hebat pada permulaan abad IV, akhirnya pada tahun 313 Kaisar Konstantinus mengeluarkan maklumat di kota Milano yang memberi kebebasan beragama kepada semua penduduk Kerajaan Roma. Sebelum meninggal, ia sendiri dibaptis menjadi Kristiani. sesudah itu, kedudukan dan peranan Gereja Kristiani menjadi sangat mencolok, bukan hanya dalam penghaytan iman dan ibadat, tetapi juga dalam refleksi atas iman baik dalam tukar pikiran dengan orang-orang bukan Kristiani (cendikiawan, filsuf dan sebagainya) maupun usaha orang Kristiani sendiri untuk memperdalam unsur pengetahuan atas iman.
Refleksi itu sebenarnya sudah dirintis dalam lingkungan Yahudi di wilayah yang dipengaruhi Helenisme. Misalnya tokoh Filo dari Aleksandria di Mesir (20 S.M.-50 M.) yang berkeyakinan bahwa ada kesinambungan antara iman dengan akal karena kedua-duanya berasal dari Allah sebagai satu-satunya sumber kebenaran, yang dikenal baik melalui iman maupun akal. Pemikiran seperti itu juga masih muncul dalam umat Kristiani purba antara lain dari Yustinus (100-165) dan dari sekelompok pengajar Kristiani di Mesir seperti Clemnes (150-212) dan Origenes (185-254), yang sebangsa dengan Plotinos. Pada saat yang sama, muncul juga pemikiran yang menantang dengan keras, khususnya Tertulianus (160-223), dan juga dari Afrika utara (Kartago, wilayah Tunisia sekarang) yang sangat menekankan perbedaan dasar antara iman Kristiani dengan akal, baik karena Allah itu tak terjangkau oleh akal yang lemah, maupun karena manusia berdosa secara menyeluruh sehingga hasil akal budinya tidak bisa diandalkan: "credo quia absurdum" (aku percaya justru karena tidak masuk akal).
Setelah tahun 313, dalam lingkungan Gereja Kristiani muncul puluhan pemikir besar yang berusaha menyoroti pokok-pokok iman Kristiani dilihat dari sudut pengertian dan akal budi. Mereka sering dinamai "pujangga Gereja" dan dianggap sebagai teolog, dengan akibat filsafat yang termuat dalam ajaran mereka kurang diangkat meskipun tetap sejalur dengan lanjutan Neo-Platonisme. Salah satu dari antara mereka adalah Augustinus.
Augustinus berasal dari wilayah yang sama dengan Tertulianus, propinsi Numidida di Afrika Utara dengan ibukota Kartago. Ia mendapat pendidikan Kristiani dari Monika, ibunya. Tetapi sejak usia muda, iman sudah tidak berarti baginya, terutama setelah ia belajar di Madaura. Kemudian ia ke Kartago untuk mempelajari tata bahasa, sastra, retorika. Tujuannya agar ia mampu berbicara di muka umum, menyatakan apa saja yang ingin didengar orang, karena ia memiliki keinginan yang besar untuk menjadi orang penting dan duduk di lapisan teratas masyarakat. Ia memang sangat berbakat.
Menurut pengakuannya sendiri, selama masa muda itu, ia hidup berfoya-foya. Ia mempunyai latar belakang pemikiran filsafat dari aliran Manikeisme yang mempunyai pandangan hidup dualistis. Filsafat ini memberikan toleransi besar terhadap segala kelemaham manusia dengan beranggapan bahwa kaum "jasmani" atau para "pendengar" tidak dapat lain daripada berharap bahwa pada penitisan kembali, mereka akan lahir sebagai yang "terpilih" dan mendapatkan keselamatan. Untuk sementara waktu dalam hidup "jasamani" ini mereka memberi toleransi kepada kejasmanian dan kelemahan mereka.
Beberapa waktu kemudian ketika sudah pindah ke Roma dan mengalami kegagalan dalam mencapai sukses yang diharapkan, ia pindah ke aliran skeptisisme yang menganggap dirinya sebagai ahli waris terakhir dari Akademia Plato. Aliran ini sedikit berbeda dengan Plato karena mempunyai anggapan bahwa tidak mungkin manusia mencapai kepastian atau suatu kebenaran yang tetap (mirip dengan para Guru Sofis pada masa Sokrates). Mereka menganut relativisme mutlak dalam bidang pengetahuan maupun penilaian norma-norma etika.
Usahanya mendirikan perguruan di Roma gagal. Bermodalkan pengalaman hidupnya sendiri dan berdasarkan skeptisisme para penganut Akademia, seakan-akan ia tak sanggup lagi mengejar kebenaran atau menyetujui adanya pedoman hidup yang baik. Akhirnya ia mendapat undangan untuk mengajar di Milano.
Di tengah kemerosotan yang telah dialaminya, keinginannya untuk mengetahui masih membara dalam hatinya. Dalam situasi seperti itu ia berkenalan dengan karya Plotinos yang digubah oleh Porfirius (233-304) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Marius Victorinus. Semula Augustinus merasa sangat terkesan karena ajaran Neo-Platonisme itu menjadi sistem filsafat pertama yang diperkenalkan kepadanya. Dalam ajaran tersebut terdapat pemikiran yang konsisten dan bukan dualistis. Misalnya, tidak ada suatu asas dari segala yang jahat di samping asas dari segala yang baik. Yang jahat itu ada karena kekurangan dari yang baik. Augustinus juga diperkenalkan dengan filsafat yang menguraikan secara meyakinkan adanya nilai-nilai rohani yang dapat ditemukan manusia di dalam hatinya sendiri. Meskipun mengesankan Augustinus, ajaran ini belum memepunyai dampak atau pengaruh lebih mendalam baginya.
Pada saat tersebut, melalui beberapa temannya (di samping ibu Monika yang dengan setia mengikuti putranya), ia diharapkan kembali pada iman Kristiani. Di samping itu ia juga berkenalan dengan Uskup Ambrosius di Milano yang pemikirannya sangat dipengaruhi oleh Origenes. Menurut pengakuannya sendiri, ia semakin sanggup melihat bahwa keyakinan intelektual yang telah diperoleh melalui Neo-Platonisme seakan-akan menuntut suatu kelanjutan dalam praktik hidup yang kiranya tidak berasal dari filsafat tersebut.
Ia dibaptis menjadi seorang Kristiani oleh Ambrosius pada malam Paskah tahun 387. Dari masa dua tahun di sekitar peristiwa tersebut, kita mempunyai banyak karya filsafat dari Augustinus; meskipun jarang hanya filsafat semata-mata, karena karyanya waktu itu cukup dilatarbelakangi dan diwarnai oleh pengalaman pertobatannya. Salah satu rumus refleksi Augustinus mengenai perjalanannya menuju iman Kristiani termuat dalam karyanya yang termasyur, "Confessiones" ("Pengakuan" sekaligus "Puji-pujian kepada Allah"). Augustinus menggoreskan kekagumannya ketika membaca karya Plotinos, sekaligus menggoreskan perasaannya bahwa seakan-akan "belum sampai" kepada "sesuatu", yang baru sanggup dirumuskannya sesudah ia mulai beriman. Ialah bahwa "Nomen Christi non erat ibi" (nama Kristus belum terdapat dalam tulisan Neo-Platonisme itu). Demikian ringkasan atau kunci pemikiran dan filsafat Augustinus yang tetap bertahan untuk seterusnya dan yang termuat dalam karya besar dan khotbah-khotbahnya (ia menjadi imam tahun 391, lalu menjadi Uskup kota Hippo di Afrika Utara tahun 396 sampai akhir hidupnya). Perpisahan Augustinus dengan filsafat gaya Neo-Platonisme murni, terdapat dalam Confessiones (9, 100) mengenai hari terakhir sebelum Monika meninggal. Di situ terdapat percakapan mereka mengenai pengalaman hidup di bumi ini dan mengenai kebahagiaan di surga yang dijanjikan Tuhan. Peristilahan dalam percakapan itu secara mendalam bernada Neo-Platonisme sekaligus seluruhnya bernafaskan iman Krsitiani. Berikut ini disampaikan anggapan pandangan Augustinus mengenai sejumlah bidang dan cabang filsafat.
Epistemologi Augustinus bersifat iluminisme. Augustinus berkeyakinan bahwa manusia tidak sanggup mencapai kebenaran tanpa terang ("lumen") khusus dari Allah. Dari sudut yang lain, ia juga berkeyakinan bahwa dalam diri manusia secara alamiah terdapat suatu benih kebenaran yang tidak dapat padam atau mati. "Apabila tidak ada kebenaran, kiranya benar juga bahwa tidak ada kebenaran. Dengan itu adanya kebenaran sudah ditegaskan". Hal yang mirip dengan itu diuraikan Augustinus juga dalam wawancara "De Magistro" (Guru). Dikemukakannya bahwa proses belajar-mengajar itu dimungkinkan hanya karena ternyata dalam diri murid terdapat suatu "dasar pengetahuan" atau "pengertian" yang tinggal dihidupkan oleh perkataan dan penjelasan guru. Hal ini tidak bisa dibandingkan dengan "memberikan" pengetahuan seperti memberikan sebuah jeruk (merujuk pemikiran Sokrates). Itu semua terjadi dalam rangka pengetahuan iman.
Unsur-unsur filsafat manusia muncul dalam karya Augustinus saat ia memandang manusia sebagai ciptaan Allah. Dalam hal ini, ia menentang ajaran Neo-Platonisme yang tidak memakai istilah penciptaan ("creatio"), tidak membicarakan Allah sebagai Pencipta ("Creator"), dan yang tidak sanggup membedakan ciptaan dengan penciptanya (monisme yang bercorak panteisme). Menurut Augustinus, segala makhluk merupakan "vestigia Dei" ("jejak-jejak Allah") yang memaklumkan bahwa "Allah telah lewat". Manusia menjadi "vestigium Dei" sedemikian istimewa, sehingga disebut "imago Dei" ("citra Allah"). Manusia memantulkan siapa Allah itu dengan lebih jelas daripada segala ciptaan lainnya.
Dalam rangka itu, Augustinus menguraikan gejala manusia dengan memakai tiga istilah, yaitu mens - notitita -amor, sekali-kali juga memoria - intellectus - voluntas. Yang pertama, ("mens", "memoria") bukan hanya berarti ingatan saja, melainkan juga dasar segala kegiatan dan tindakan manusia sebagai makhluk yang sadar akan dirinya sendiri. Maka boleh dikatakan bahwa itu merupakan sumber kegiatannya, kekayaan dasarnya sebagai pribadi. Yang kedua, ("notitia", "intellectus") berkaitan dengan kegiatan pengetahuan. Yang ketiga, ("amor", "voluntas") menunjukkan kegiatan kehendak yang memuncak dalam cinta murni. Tritunggal seperti itu tidak asing dalam konteks pemikiran Neo-Platonisme dalam rangka irama keluar kembali berlingkaran, tetapi oleh Augustinus dalam De Trinitate, secara khusus hal tersebut dipergunakan untuk menggambarkan manusia sebagai ciptaan Allah sesuai dengan rumus yang ditemukannya dalam Kitab Suci Perjanjian Baru.
Usaha yang mirip dengan itu diucapkannya dengan perkataan lain yang bergema sampai dewasa ini yaitu, "Tuhanku, Engkaulah lebih tinggi daripada apa yang paling dalam dalam batinku" ("Deus meus superior summo meo; et interior intimo meo") ("Confessiones", 3, 6, 11) . Ini merupakan ungkapan yang merangkum pengalaman manusia tentang transendensi dan imanensi Allah dalam satu rumus. Inilah beberapa pokok filsafat ketuhanan Augustinus.
Dalam bidang etika, perlu diingat bahwa Augustinus bertahun-tahun lamanya mengalami ketidakmampuan untuk menyelenggarakan hidupnya dengan baik dengan latar belakang dualisme manikeisme. Sesudah menjadi Kristen dan Uskup, Augustinus menabrak keras anggapan Pelagius (350-425) dan pelagianisme yang beranggapan bahwa manusia sendiri karena ketegasan dan kerajinannya dapat berbuat baik dan menyelamatkan diri. Manusia tetap membutuhkan rahmat dari Allah. Dengan demikian ada kesejajaran iluminismenya tentang pengetahuan dengan ketidakmampuan manusia, dalam bidang etika, tanpa rahmat Allah.
Filsafat negara Augustinus menjadi terkenal juga. Baginya, filsafat negara tidak bisa lepas dari etika. Filsafat negaranya termuat dalam "Civitas Dei" ("Negara Allah") yang lebih merupakan teologi sejarah dengan beberapa pokok mengenai filsafat sejarah. Karya ini harus ditempatkan dalam konteks sejarah selama 20 tahun terakhir kehidupan Augustinus. Kegemilangan dan kekuatan politik Kerajaan Roma sudah mulai merosot karena kemewahan dan kelaliman para pemimpin dan karena penyerbuan bangsa-bangsa sebelah Timur, Timur Laut dan Utara.
Situasi tersebut ditanggapi Augustinus dalam konteks akhirat. Negara dan masyarakat yang kita alami merupakan pertempuran terus-menerus antara kekuatan buruk yang duniawi ("civitas terrena") dengan kekuatan baik dari Allah ("civitas Dei"). Akhirnya yang akan menang adalah kekuatan baik dari Allah. Perlu dihindari pengertian bahwa civitas terrena itu negara dan civitas Dei itu Gereja, karena keduanya mempunyai kedua unsur, baik dari civitas terrena maupun civitas Dei. Civitas Dei pun akan menang dalam diri manusia karena kekuatan Allah dan bukan semata-mata kekuatan manusia. 
Akhirnya, Augustinus dan karyanya, yang menjadi milik kebudayaan Barat dan yang dipengaruhi oleh iman Kristiani, kiranya lebih mendalam daripada Plato dan Aristoteles dalam batas-batas tertentu. Karya-karyanya mempengaruhi sejumlah besar filsuf dan teolog. Misalnya, Anselmus (abad XI), seluruh kelompok filsuf dan teolog sekolah Saint Victor di Paris (abad XII), Bonaventura, maupun Thomas Aquinas (abad XIII), Martin Luther, Malebranche, Pascal, Jansenisme, Maurice Blondel (abad XX). Dalam peringatan 1500 tahun wafatnya Augustinus, terjadi diskusi hebat mengenai ada tidaknya apa yang dinamakan "filsafat Kristiani".
Augustinus juga menyadari bahwa manusia tidak sanggup mencapai kebenaran sejati kalau tidak diterangi oleh yang ilahi. Meskipun demikian dalam diri manusia sudah ada benih kebenaran yang memungkinkannya untuk menguak kebenaran. Benih inilah yang ia sadari sebagai pantulan Allah sendiri, sehingga manusia merupakan citra Allah. Inilah yang menurutnya merupakan kedalaman yang paling dalam dalam diri manusia.

MENGENANG NURCHOLIS MADJID

Laporan Abu Qori
Polemik mengenai pikiran Nurcholish Madjid sudah berlangsung sejak 1970-an
ketika ia melontarkan gagasan tentang sekularisasi, yang kemudian dibantah
oleh Prof Dr HM Rasjidi, mantan Menteri Agama RI yang pertama.
 
Para penentang keras lainnya tercatat nama-nama: Endang Saefuddin Anshari,
Abdul Qadir Djaelani, Hartono Ahmad Jaiz, Adian Husaini, Daud Rasyid, Abu
Ridho dan Muhammad Yaqzhan, Hidayat Nur Wahid, Adnin Armas, Syamsuddin Arif,
Hamid Fahmi Zarkasyi (tiga nama terakhir bukan langsung menghadapi
Nurcholish namun mengkritrik pemahaman model Nurcholish) dan masih banyak
nama lainnya.
 
Hidayat Nur Wahid, waktu awal-awal baru pulang dari Madinah tahun 1992,
termasuk penentang Cak Nur, tapi belakangan ini tidak, bahkan ketika matinya
Nurcholish Madjid, Senin 29 Agustus 2005, HNW yang jadi ketua MPR
menyampaikan kata-kata yang banyak mengandung pujian lewat radio swasta di
Jakarta.
 
Kritikan lewat pengajian-pengajian pun banyak, di antaranya dilakukan oleh
KH Abdul Rasyid AS, KH Ahmad Kholil Ridwan, H Husen Umar, Abdul Hakim Abdad,
Zainal Abidin dan mubaligh-muballigh Jakarta lainnya. Dari Bandung, ada KH
Athian Ali Da’i, Heddy Muhammad, dan lain-lain.
 
Meskipun banyak musuhnya, Nurcholish Madjid juga ada pembela-pembelanya,
bahkan pemujinya. Yang sangat memuji Nurcholish Madjid adalah tokoh Katolik,
Romo Frans Magnis Suseno, yang menyarankan agar faham teologi inklusivisme
Nurcholish Madjid diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan Inggris.
Inklusivisme dimaksud adalah, agama saya (Islam) mungkin salah, agama orang
lain mungkin betul, maka saling mengisi.
 
Ini sama dengan tidak meyakini kebenaran Islam secara mutlak, dan meragukan
kebenaran mutlak Al-Qur’an.
 
Dawam Rahardjo juga membela sejadi-jadinya. Sehari setelah meninggalnya
Nurcholish Madjid, tulisan Dawam di halaman depan harian Media Indonesia 30
Agustus 2005 terpampang judul SANG PEMBARU. Dawam menegaskan, "agar terjadi
penyegaran pemikiran, Cak Nur mengusulkan dilakukannya liberalisasi dan
sekulerisasi." Juga menurut Dawam, lahir gagasan Nurcholish Madjid mengenai
pluralisme agama. Dawam tidak malu-malu menjunjung Nurcholish Madjid dengan
sekulerisasinya, liberalisasi, dan pluralisme agama yang diusung Nurcholish
Madjid. Padahal itu semua telah diharamkan oleh Fatwa MUI dalam Munas ke-7
di Jakarta 26-29 Juli 2005, karena paham itu menurut Fatwa MUI bertentangan
dengan Islam.
 
Di antara pembela Nurcholish Madjid adalah Luthfi Assyaukanie yang bekerja
di Paramadina Mulia yang rektornya adalah Nurchlish Madjid. Luthfi membela
Nurcholish di antaranya kami kutipkan tulisannya sebagai berikut:
"Penyakit "mensetankan orang" juga menghinggapi sebagian kaum terpelajar
Muslim di Indonesia, yang merasa terkejut dan tak aman karena berhadapan
dengan dunia di sekelilingnya yang dianggap mengancam. Dalam sebuah artikel
pendek, saya menemukan seorang pelajar Muslim (yang sebetulnya tidak bodoh,
karena terbukti telah menggondol gelar PhD), yang membuat tulisan sangat
provokatif, berjudul "Diabolisme Intelektual" (Intelektual Pemuja Iblis).
Dalam tulisan itu, ia mengerahkan seluruh energi amarahnya untuk mensetankan
siapa saja yang dianggapnya sesat. Dengan memilih potongan-potongan ayat
Al-Qur’an (yang pasti diseleksi dengan tidak jujur), dia menganggap para
tokoh pembaru Islam seperti Nurcholish Madjid, sebagai setan dan iblis. Tak
sampai di sini, dia juga mensetankan beberapa ulama besar Islam seperti
Suhrawardi dan Hamzah Fansuri, karena dianggap sebagai orang-orang yang
menyimpang dari ajaran Islam." (Demonisasi Oleh Luthfi Assyaukanie Editorial
JIL, 20/06/2005).
 
Cendekiawan Iblis
 
Luthfi menulis seperti itu gara-gara ada tulisan yang menyoroti tentang
adanya cendekiawan Iblis. Cuplikannya sebagai berikut:
 
Tidak sulit untuk mengidentifikasi cendekiawan bermental Iblis. Sebab,
ciri-cirinya telah cukup diterangkan dalam al-Qur’an sebagai berikut.
Pertama, selalu membangkang dan membantah (6:121). Meskipun ia kenal, tahu
dan faham, namun tidak akan pernah mau menerima kebenaran. Seperti ingkarnya
Fir’aun berikut hulu-balangnya, zulman wa ‘uluwwan, meskipun dan padahal
hati kecilnya mengakui dan meyakini (wa istayqanat-ha anfusuhum).
 
Maka selalu dicarinya argumen untuk menyanggah dan menolak kebenaran demi
mempertahankan opininya. Sebab, yang penting baginya bukan kebenaran, akan
tetapi pembenaran. Jadi, bukan karena ia tak tahu mana yang benar, tetapi
karena ia memang tidak mau mengikuti dan tunduk pada kebenaran itu. Jadi
jangan heran bila selalu saja ada cendekiawan yang meskipun nota bene
Muslim, namun sifatnya seperti itu. Ideologi dan opini pemikirannya yang
liar lebih ia pentingkan dan ia pertahankan ketimbang kebenaran dan aqidah
Islamnya. Dalam tradisi keilmuan Islam, sikap membangkang semacam ini
disebut juga al-‘inadiyyah (Lihat: Abu Hafs Najmuddin Umar ibn Muhammad
an-Nasafi (w. 537 H/1142 M), al-‘Aqa’id, dalam Majmu, min Muhimmat al-Mutun,
Kairo: al-Matba’ah al-Khayriyyah, 1306 H, hlm. 19).
 
Kedua, intelektual diabolik bersikap takabbur (sombong, angkuh, congkak,
arogan). Pengertian takabbur ini dijelaskan dalam hadis Nabi SAW yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim (no.147): "Sombong ialah menolak yang haq dan
meremehkan orang lain (al-kibru batarul-haqq wa ghamtu n-nas)". Akibatnya,
orang yang mengikuti kebenaran sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an atau
hadis Nabi SAW dianggapnya dogmatis, literalis, logosentris, fundamentalis,
konservatif dan lain sebagainya.
 
Sebaliknya, orang yang berpikiran liberal, berpandangan relativistik dan
skeptis, menghujat al-Qur’an maupun Hadis, meragukan dan menolak
kebenarannya, justru disanjung sebagai intelektual kritis, reformis dan
sebagainya, meskipun terbukti zindiq, heretik dan bermental Iblis. Mereka
bermuka dua, menggunakan standar ganda (2:14). Mereka menganggap orang
beriman itu bodoh, padahal merekalah yang bodoh dan dungu (sufaha’).
 
Intelektual semacam inilah yang diancam Allah dalam al-Qur’an (7:146): "Akan
Aku palingkan mereka yang arogan tanpa kebenaran itu dari ayat-ayat-Ku.
Sehingga, meskipun menyaksikan setiap ayat, tetap saja mereka tidak akan
mempercayainya. Dan kalaupun melihat jalan kebenaran, mereka tidak akan mau
menempuhnya. Namun jika melihat jalan kesesatan, mereka justru
menelusurinya."
 
Ciri yang ketiga ialah mengaburkan dan menyembunyikan kebenaran (talbis wa
kitman al-haqq). Cendekiawan diabolik bukan tidak tahu mana yang benar dan
mana yang salah. Namun ia sengaja memutarbalikkan data dan fakta. Yang batil
dipoles dan dikemas sedemikian rupa sehingga nampak seolah-olah haq.
 
Sebaliknya, yang haq digunting dan di-‘preteli’ sehingga kelihatan seperti
batil. Ataupun dicampur-aduk dua-duanya sehingga tidak jelas lagi beda
antara yang benar dan yang salah. Strategi semacam ini memang sangat efektif
untuk membuat orang lain bingung dan terkecoh. Contohnya seperti yang
dilakukan oleh para pengasong gagasan inklusivisme dan pluralisme agama.
Mereka mengutip ayat-ayat al-Qur’an (2:62 dan 5:69) untuk menjustifikasi
pemikiran liarnya, untuk mengatakan semua agama adalah sama, tanpa
mempedulikan konteks siyaq, sibaq dan lihaq maupun tafsir bi l-ma’tsur dari
ayat-ayat tersebut. Sama halnya yang dilakukan oleh para orientalis Barat
dalam kajian mereka terhadap al-Qur’an dan Hadis. Mereka mempersoalkan dan
membesar-besarkan perkara-perkara kecil, mengutak-atik yang sudah jelas dan
tuntas, sambil mendistorsi dan memanipulasi (tahrif) sumber-sumber yang ada.
Hal ini tidak terlalu mengejutkan, mengingat kebanyakan mereka adalah Yahudi
dan Nasrani yang karakternya telah dijelaskan dalam al-Qur’an 3:71, "Ya ahla
l-kitab lima talbisuna l-haqq bi l-batil wa taktumu l-haqq wa antum ta’
lamun?" Yang sangat mengherankan ialah ketika hal yang sama dilakukan oleh
mereka yang zahirnya Muslim.
 
Karena watak dan peran yang dilakoninya itu, Iblis disebut juga Setan
(syaytan), kemungkinan dari bahasa Ibrani ‘syatan’, yang artinya lawan atau
musuh (Lihat: W. Gesenius, Lexicon Manuale Hebraicum et Chaldaicum in
Veteris Testamenti Libros). Dalam al-Qur’an memang ditegaskan bahwa setan
adalah musuh nyata manusia (12:5, 17:53 dan 35:6). Selain pembangkang
(‘asiyy), setan berwatak jahat, liar, dan kurang ajar (marid dan marid).
Untuk menggelincirkan (istazalla), menjerumuskan (yughwi) dan menyesatkan
(yudillu) orang, setan juga memakai strategi. Caranya dengan menyusup dan
mempengaruhi (yatakhabbat), merasuk dan merusak (yanzagh), menaklukkan
(istahwa) dan menguasai (istah’wadza), menghalang-halangi (yasudd) dan
menakut-nakuti (yukhawwif), merekomendasi (sawwala) dan menggiring (ta’uzz),
menyeru (yad’u) dan menjebak (yaftin), menciptakan imej positif untuk
kebatilan (zayyana lahum a’malahum), membisikkan hal-hal negatif ke dalam
hati dan pikiran seseorang (yuwaswis), menjanjikan dan memberikan
iming-iming (ya’iduhum wa yumannihim), memperdaya dengan tipu muslihat
(dalla bi-ghurur), membuat orang lupa dan lalai (yunsi), menyulut konflik
dan kebencian (yuqi’u l-‘adawah wa l-baghda’), menganjurkan perbuatan
maksiat dan amoral (ya’mur bi l-fahsya’ wa l-munkar) serta menyuruh orang
supaya kafir (qala li l-insani-kfur).
 
Nah, trik-trik inilah yang juga dipraktekan oleh antek-antek dan
konco-konconya dari kalangan cendekiawan dan ilmuwan. Mereka disebut awliya’
al-syaytan (4:76), ikhwan al-syaytan (3:175), hizb al-syaytan (58:19) dan
junudu Iblis (26:94). Mereka menikam agama dan mempropagandakan pemikiran
liar atas nama hak asasi manusia (HAM), kebebasan berekspresi, demokrasi,
pembaharuan, pencerahan ataupun penyegaran. Semua ini sebenarnya bukan
sesuatu yang baru atau pertama kali terjadi, seperti segera diketahui oleh
setiap orang yang membaca sejarah pemikiran Islam. Semuanya merupakan
repetisi dan reproduksi belaka. History repeats itself, kata pepatah bule.
Hanya pelakonnya yang beda, namun karakter dan perannya sama saja. Ada Fir’
aun dan ada Musa as. Muncul Suhrawardi al-Maqtul, tetapi ada Ibn Taymiyyah.
Lalu lahir Hamzah Fansuri, namun datang ar-Raniri, dan seterusnya. Al-Qur’an
pun telah mensinyalir: "Memang ada manusia-manusia yang kesukaannya
berargumentasi, menghujat Allah tanpa ilmu, dan menjadi pengikut setan yang
durhaka. Telah ditetapkan atasnya, bahwa siapa saja yang menjadikannya
sebagai kawan, maka akan disesatkan olehnya dan dibimbingnya ke neraka"
(22:3-4). Maka kaum beriman diingatkan agar senantiasa menyadari bahwa
"sesungguhnya setan-setan itu mewahyukan kepada kroninya untuk menyeret
kalian ke dalam pertengkaran. Jika dituruti, kalian akan menjadi orang-orang
yang musyrik" (6:121). Ini tidak berarti kita dilarang berpikir atau
berijtihad. Berpendapat boleh saja, asal dengan ilmu dan adab. Wallahu a’
lam.
(Syamsuddin Arif, Diabolisme Intelektual, Kamis, 30 Juni 2005,
hidayatullah.com, penulis adalah peneliti INSISTS, kini menempuh program
doktor keduanya di Universitas Frankfurt, Jerman).
 
Pembela Nurcholish Dibantah
 
Luthfi yang dari Paramadina rupanya disahut Adian Husaini dari INSIST,
cuplikannya sebagai berikut:
 
Tulisan "Diabolisme Intelektual" sangat bagus, jelas, jernih, dan punya
sikap, yang salah dikatakan salah. Perlu disebut bagian mana dari tulisan
itu yang salah. Iblis tidak malu-malu dan bersikap fair menyatakan dirinya
sebagai Iblis dan terus terang berjanji akan menyesatkan manusia. Yang repot
jika pengikut Iblis justru mengaku sebagai penyeru kebenaran dan
kemaslahatan. Tapi, al-Quran sudah mengingatkan dan memberi ciri-ciri yang
gamblang makhluk jenis ini yang disebut sebagai "munafik". Jadi, tidak usah
ragu-ragu melakukan demonisasi, meskipun juga harus hati-hati. Saran saya,
agar tidak rumit, yang Iblis, ngakulah Iblis, yang memang setan, katakan
setan, siapa yang kafir, ngakulah kafir. Tidak usah ragu-ragu, masing-masing
sudah ada tempatnya. Yang paling ditakutkan oleh Rasulullah saw adalah
"kullu munafiqin ‘aliimul lisaan." (insistnet at yahoogroups.com, adian
husaini).
Sebenarnya Syamsuddin Arif tidak menulis secara eksplisit nama Nurcholish
Madjid. Tetapi justru Luthfi yang menulis nama itu. Adian Husaini pun hanya
menyarankan agar mereka mengaku saja, karena iblis juga mengaku akan
menyesatkan orang.
 
Polemik ini cukup sengit di saat Nurcholish Madjid sedang sakit, yang dua
bulan kemudian dia meninggal dunia di rumah sakit Pondok Indah Jakarta,
Senin 29 Agustus 2005 jam 14.10. Nurcholish sebelumnya, 13 bulan sebelum
meninggalnya, hatinya dicangkok (diganti) dengan hati orang Cina di
Tiongkok, kemudian dirawat di Singapura selama sekitar 7 bulan.
 
Sekularisasi dan Cangkok Hati
 
Dalam buku Ada Pemurtadan di IAIN karya Hartono Ahmad Jaiz dikemukakan:
Nurcholish Madjid, dosen di IAIN Jakarta, pendiri Yayasan Wakaf Paramadina
dan rektor Universitas Paramadina Mulya Jakarta. Pada saat naskah ini
ditulis, dia sedang dirawat sudah 3 bulan, dan dicangkok hatinya dengan hati
orang Cina Tiongkok di Cina lalu dibawa ke rumah sakit di Singapura untuk
perawatan saluran pencernaan yang terserang infeksi.
Nurcholish Madjid dulu (1970) mencoba mengemukakan gagasan "pembaharuan" dan
mengecam dengan keras konsep negara Islam sebagai berikut: "Dari tinjauan
yang lebih prinsipil, konsep "Negara Islam" adalah suatu distorsi hubungan
proporsional antara agama dan negara. Negara adalah salah satu segi
kehidupan duniawi yang dimensinya adalah rasional dan kolektif, sedangkan
agama adalah aspek kehidupan yang dimensinya adalah spiritual dan pribadi."
[1]
 
Pada tahun 1970 Nurcholish Madjid melontarkan gagasan "Pembaharuan Pemikiran
Islam". Gagasannya itu memperoleh tanggapan dari Abdul Kadir Djaelani,
Ismail Hasan Meutarreum dan Endang Saifuddin Anshari. Sebagai jawaban
terhadap tanggapan itu Madjid mengulangi gagasannya itu dengan judul "Sekali
lagi tentang Sekularisasi". Kemudian pada tanggal 30 Oktober 1972, Madjid
memberikan ceramah di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dengan judul
"Menyegarkan Faham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia". Salah satu
kekeliruan yang sangat mendasar dari Nurcholish Madjid ialah pemahamannya
tentang istilah "sekularisasi". Ia menghubungkan sekularisasi dengan tauhid,
sehingga timbul kesan "seolah-olah Islam memerintahkan sekularisasi dalam
arti tauhid". [2]
 
Di samping itu Nurcholish mengemukakan bahwa Iblis kelak akan masuk surga.
Ungkapannya yang sangat bertentangan dengan Islam itu ia katakan 23 Januari
1987 di pengajian Paramadina yang ia pimpin di Jakarta. Saat itu ada
pertanyaan dari peserta pengajian, Lukman Hakim, berbunyi: "Salahkah Iblis,
karena dia tidak mau sujud kepada Adam, ketika Allah menyuruhnya. Bukankah
sujud hanya boleh kepada Allah?" Dr. Nurcholish Madjid, yang memimpin
pengajian itu, menjawab dengan satu kutipan dari pendapat Ibnu Arabi, dari
salah satu majalah yang terbit di Damascus, Syria bahwa: "Iblis kelak akan
masuk surga, bahkan di tempat yang tertinggi karena dia tidak mau sujud
kecuali kepada Allah saja, dan inilah tauhid yang murni." Nurcholis juga
mengatakan, "Kalau seandainya saudara membaca, dan lebih banyak membaca
mungkin saudara menjadi Ibnu Arabi. Sebab apa? Sebab Ibnu Arabi antara lain
yang mengatakan bahwa kalau ada makhluk Tuhan yang paling tinggi surganya,
itu Iblis. Jadi sebetulnya pertanyaan anda itu permulaan dari satu tingkat
iman yang paling tinggi sekali. Tapi harus membaca banyak." [3]
 
Itulah ungkapan pembela Iblis. Padahal Iblis jelas kafir, dan yang kafir itu
menurut QS Al-Bayyinah ayat 6 tempatnya di dalam neraka jahannam
selama-lamanya.
"Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu
kepada Adam,’ maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan
adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir." (QS Al-baqarah: 34).
"Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik
(akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah
seburuk-buruk makhluk." (QS Al-Bayyinah (98: 6).
 
Masalah hati Nurcholish Madjid dicangkok dengan hati Cina di Negeri Cina,
ada yang mengaitkan dengan kualatnya Nurcholish Madjid dalam beberapa hal:
Pertama: Nurcholish Madjid mempidatokan di universitas-universitas terkemuka
di Eropa, Ramadhan 2002, bahwa Islam adalah agama hibrida. Pidatonya itupun
dimuat di situs JIL, islamlib.com. Nurcholish Madjid hanya mengemukakan
secuil bukti yang dia ada-adakan, yaitu katanya, di Al-Qur’an ada lafal
qisthas dari bahasa Yunani Justis yang artinya adil. Dan di Al-Qur’an ada
lafal kafuro, menurut Nurcholish, dari bahasa Melayu, kapur barus. Dua
potong kata yang tanpa bukti ilmiah itu kemudian Nurcholish simpulkan bahwa
Islam adalah agama hibrida, maka bukan Islamnya yang hibrida, tapi hati dia
yang dihibrida dengan hati Cina Komunis.
 
Kedua, di tahun 1980-an, Bambang Irawan Hafiluddin gembong Islam Jama'ah dan
Hasyim Rifa’i da’i Islam Jama’ah (keduanya kemudian keluar dari Islam Jama’
ah karena menyadari aliran yang kini bernama LDII itu benar-benar sesat
jauh) berkunjung ke rumah Nurcholish Madjid di Tanah Kusir Jakarta Selatan.
Kedua tamu ini kaget ketika Nurcholish Madjid mereka tanya, Negara mana yang
di dunia ini pantas untuk ditiru sebagai teladan. Ternyata jawaban
Nurcholish: Negara Cina Tiongkok, karena di sana tidak ada perzinaan,
pencurian dan sebagainya. Kedua tamu ini terheran-heran. Sampai dua puluh
tahun keheranannya itu baru terjawab ketika mereka mendengar berita bahwa
Nurcholish Madjid hatinya dicangkok dengan hati Cina Komunis di negeri Cina,
tahun 2004. Jadi Nurcholish Madjid benar-benar mendapatkan hati teladan
(impiannya?).
 
Ketiga, Nurcholish Madjid menuduh PKI (Partai Komunis Indonesia) terhadap
anak-anak Ma’had Al-Qolam Pasar Rumput Jakarta yang memberikan brosur kepada
Nurcholish Madjid berupa jawaban/bantahan atas ungkapan Nurcholish Madjid
bahwa Iblis kelak akan masuk surga. Peristiwa tuduhan PKI yang terlontar
dari mulut Nurcholish Madjid terhadap santri-santri yang berlangsung di
tahun 1987 itu ternyata berbalik ke diri Nurcholish Madjid bahwa hati dia
dicangkok dengan hati orang Cina Tiongkok yang komunisnya asli, bukan
assembling seperti PKI. Debat dan tuduhan Nurcholish Madjid terhadap
santri-santri itu dimuat di buku Menangkal Bahaya JIL dan FLA, 2004.
 
Demikian tulis Hartono Ahmad Jaiz dalam buku ada Pemurtadan di IAIN, tebitan
Pustaka Al-Kautsar, Jakarta 2005.
 
Dua hari menjelang meninggalnya Nurcholish Madjid, Koran Indopos (Sabtu, 27
Agustus 2005) memberitakan, Nadia binti Nurcholish Madjid, dan Akbar Tanjung
teman Nurcholish mengatakan bahwa wajah Nurcholish Madjid tampak lebih
hitam. "Dibandingkan sebelumnya (wajahnya) kelihatan lebih hitam," ujar
Akbar. (Abu Qori).

Tradisi Punya Rasionalisasinya Sendiri

Oleh George Tarabishi
Pada penghujung dekade 70-an terjadi pergeseran tajam dalam wacana intelektual dunia Arab dan negara-negara Islam pada umumnya. Pergeseran ini antara lain terlihat pada kecenderungan umum para intelektual negara-negara tersebut untuk secara lebih dalam melakukan riset dan penelitian di seputar warisan intelektual orang-orang terdahulu dalam semua lapisan dan aspeknya.
Pendekatan yang mereka gunakan pun beragam. Mulai dari yang murni hasil kreasi sendiri, sampai yang diadopsi dari luar. Ini semua, pada gilirannya, melahirkan apa yang disebut discours of heritage (wacana tradisi). Menurut pengamatan saya, wacana tradisi yang secara gencar membayangi setiap upaya penggalian hasil warisan nenek moyang pada era 80-an itu, hadir di tengah kondisi ketika wacana ideologi--Nasserisme, Ba'thisme, Liberalisisme, dan lain-lain, yang sempat merajalela pada 1950-an dan 1960-an--sedang sekarat. Penyebabnya sangat beraneka ragam.
Pertama, seperti halnya wacana ideologis, dalam wacana tradisi ada dua versi yang berseberangan. Satu versi terlalu Arabsentris. Para penganutnya begitu mengunggulkan peran orang-orang Arab dalam membesarkan warisan budaya Islam. Fokus utama studi mereka hanya pada karya orang-orang Arab. Sementara yang satunya lagi, sangat universalis. Mereka biasanya dikenal sebagai shu'ubiyyin atau anti-Arab.
Di mata kelompok kedua ini, bangsa Arab nyaris tak ada apa-apanya. Oleh karena itu, sasaran riset mereka diarahkan pada kelompok-kelompok yang berada di luar mainstream, seperti kelompok sempalan, revolusioner, dan kelompok-kelompok mistis selain bangsa Arab.
Kedua, wacana tradisi maupun ideologi sama-sama konservatif. Ini terbukti oleh fakta bahwa warisan budaya Arab dan Islam pada akhirnya menjadi ajang pertarungan yang penuh intrik, sebagaimana yang terjadi pada ideologi pada era 50-an dan 60-an.
Karena itu, apa yang sedang berlangsung saat ini saya sebut sebagai "pembantaian tradisi". Sebab, warisan nenek moyang itu kini sedang digerogoti dua ular ganas: ideologisasi dan pemetak-metakan.
Sebaliknya, bagi saya, warisan nenek moyang itu harus kita perlakukan sebagai kesatuan yang utuh. Ibarat gunung, ia punya kaki dan puncak, tanjakan dan turunan, dan lain-lain. Selanjutnya, kita tak bisa, bahkan tak perlu mengidentifikasi diri dengan warisan leluhur, karena manusia tidak mengidentifikasi masa lalu. Memang, manusia adalah unsur pembentuk masa lalu. Tetapi bukan semua manusia. Masa lalu tak mungkin mereduksi semua manusia. Pada diri manusia terdapat semacam sekat yang menghalangi proses reduksi tersebut. Itulah dimensi futuristik dalam diri manusia. Karena itu, kita tak perlu dirisaukan oleh usaha identifikasi terhadap tanjakan atau turunan tradisi kita. Mungkin apa yang kita anggap sebagai tanjakan belum tentu begitu bagi leluhur kita.
Belakangan ini timbul kecenderungan untuk secara gegabah memvonis sebuah aliran tertentu dalam sejarah warisan Islam dengan ini dan itu. Salah satu contohnya adalah apa yang dilakukan Hassan Hanafi, pemikir asal Mesir itu. Ia menuding warisan Asy'ari sebagai dalang di balik runtuhnya tradisi rasionalitas dalam pemikiran Islam. Saya tak sependapat dengan pandangan ini. Saya tak melihat pola pikir Asy'ariyah sebagai sebuah tanjakan atau turunan dalam gunung tradisi pemikiran kita.
Buat saya, yang penting adalah gunung. Toh, dalam tanjakan juga terhampar turunan. Begitu pula sebaliknya. Selain itu--dan ini yang terpenting--dialektika tanjakan-turunan tak selamanya langgeng. Faktor waktu sangat menentukan. Kita, pada era sekarang, bisa saja menilai warisan rasional Mu'tazilah sebagai sesuatu yang sangat berharga. Tetapi, seratus tahun lagi, mungkin muncul penilaian warisan mistis para sufi yang seratus kali lebih berharga dari rasionalisme Mu'tazilah.
Tatkala manusia merasa kenyang akan rasio, ia akan mencari sesuatu di balik rasio. Begitu ia kehilangan rasio, maka ia akan mencarinya kembali. Alhasil, penilaian terhadap Mu'tazilah sekarang ini persis dengan pandangan orang terhadap Asy'ariyah dulu. Dan mungkin juga akan seperti pandangan orang terhadap aliran sufi di masa yang akan datang.
Interpretasi yang terburu-buru dan terpilah-pilah terhadap warisan budaya semestinya dihindari. Setiap warisan itu punya rasionalisasinya sendiri. Ia pun memiliki seonggok rasionalisasi parsial yang terhampar di sekeliling rasio sentral. Cara yang paling baik untuk membaca rasionalisasi sebuah tradisi ialah dengan mengacu pada masanya sendiri, bukan dengan mengacu pada pertentangan ideologis kita saat ini, seputar tradisi.
Upaya memencar-mencarkan bagian-bagian tradisi bisa merusak citra tradisi itu sendiri. Pun, respons kita terhadapnya akan tak beraturan. Dan kesimpulannya, yang rugi adalah kita dan tradisi itu sendiri.
Pemikir asal Suriah. Telah menerbitkan dan menerjemahkan lebih dari 50 buku tentang pemikiran Arab-Islam dan filsafat. Tulisan ini diambil dari majalah Ummat, No. 9 Thn. III, 15 September 1997/13 Jumadil Awal 1418 H, dan pernah dimuat dalam mingguan al-Majalla edisi 17, 23 Agustus 1997.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Web Hosting