Oleh: Sukidi dan Agus Haryadi*
Berkembangnya dinamika politik di Indonesia telah membawa model baru dialektika masyarakat sipil dalam arus besar yang diusung Nahdlatul Ulama (NU). Secara konsisten, NU sesungguhnya telah menempatkan diri pada peran oposisional terhadap negara di era orde baru. Namun, kini NU memilih menegara di tengah konstelasi perseteruan panjang masyarakat-negara.
Ketika kekuasaan secara sepihak mengambil tempat sebagai sentra dari seluruh aktivitas masyarakat, tanpa kecuali. Dan negara secara deterministik menjadi variabel paling signifikan dalam mengarahkan jalannya pembangunan. Sementara masyarakat, hanya ditempatkan sebagai aksesoris marjinal untuk sekadar meraih legitimasi sosial bagi kepentingan penanaman modal asing.
Tentu bukan perkara sederhana bila kemudian dalam perkembangannya NU mengambil peran baru dalam proses-proses politik dan bernegara. Sesuatu yang sesungguhnya sah dan sangat lumrah dilakukan oleh ormas manapun. Akan tetapi, bila NU memilih untuk menegara di tengah konstelasi perseteruan panjang antara masyarakat dengan negara, tentu sangat disayangkan. Perdebatan panjang yang dikampanyekan A. S. Hikam tentang masyarakat sipil di tahun-tahun menjelang kenaikan Abdurrahman Wahid sebagai presiden, terancam berakhir dengan kenyataan: NU tak lulus uji sebagai model masyarakat sipil di Indonesia.
Perdebatan panjang relasi negara dengan agama di masa lalu secara dramatis muncul dalam wacana gereja abad pertengahan. Dengan memakan korban inkuisisi dalam jumlah yang tak sedikit, konsistensi seorang Luther telah berhasil melakukan repositioning institusi gereja terhadap negara. Pembongkaran dilakukan secara radikal dengan memotong seluruh akses penyebab diskoneksitas penguasa dengan publik yang menjadi konstituennya. Negara ditempatkan kembali pada posisinya yang netral sebagai penyelenggara kesejahteraan rakyat.
Tentu bukan tanpa sadar bila kejahatan struktural muncul dalam institusi keagamaan. Kejahatan yang secara institusional justru didukung oleh institusi-institusi keagamaan memiliki kecenderungan tinggi berkolaborasi bersama negara. Yang kemudian menciptakan elemen-elemen kemasyarakatan berkarakter korporatis.
Di abad pertengahan, simbiosis mutualisme yang dibangun antara negara dengan gereja mendapatkan justifikasinya melalui pendekatan teologis. Melalui legitimasi religius, gereja memiliki peran yang sangat dominan dalam menentukan pihak-pihak yang berkuasa di suatu kawasan tertentu. Sebaliknya, negara juga sangat berpengaruh dalam mengontrol seluruh kebijakan gereja yang dipahami berimplikasi sangat luas di dalam masyarakat. Gereja secara sadar telah terlibat secara aktif dalam proses-proses politik yang berdampak langsung pada diskoneksitas yang luar biasa antara penguasa dengan rakyat yang menjadi konstituennya.
Keseluruhan fenomena ini dengan sangat baik direkam dalam lembar sejarah yang dituliskan Machiavelli dalam Il Principe. Machiavelli dengan terang-terangan mengambil Cesare Borgia —seorang kardinal yang merupakan anak haram Paus Alexander VI, penguasa tertinggi kepausan— sebagai tokoh sentral yang dianggapnya memiliki kemampuan yang tak dimiliki orang lain untuk merebut dan menjaga kekuasaan.
Untuk memberikan legitimasi religius, gereja berhasil menghegemoni publik dalam satu wacana mistifikasi terhadap pemuka agama. Historical block dibangun oleh fathers of church demi kepentingan yang pragmatis: kekuasaan. Tidak penting untuk memperdebatkan siapa memanfaatkan siapa antara gereja dengan negara, yang nyata adalah kesenjangan yang tinggi telah terjadi antara apa yang menjadi ekspektasi publik dengan negara selaku penyelenggara kesejahteraan rakyat.
Mistifikasi yang berlangsung terhadap para pemuka agama inilah yang berefek negatif terhadap masyarakat luas. Secara radikal Tuhan mengalami personifikasi dalam diri seorang pemimpin agama. Yang akhirnya berakibat pada ketidakseimbangan relasi kata, moral, maupun sosial yang terbangun antara masyarakat dengan negara. Dalam jangka panjang, masyarakat telah diarahkan pada satu budaya politik, yang disebut oleh Almond sebagai parokial, di mana masyarakat sama sekali tidak terlibat (dilibatkan) dalam lahirnya sebuah kebijakan negara, entah di tingkat artikulasi maupun agregasi. Karena urusan negara sepenuhnya menjadi kewenangan pihak gereja.
Melalui legitimasi religius inilah, setiap perlawanan masyarakat akan senantiasa direspon sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak-hak Tuhan. Dan karenanya, tindak koersi menjadi tradisi yang secara sistematis dilakukan negara terhadap masyarakat melampaui titik normal. Karena Tuhan dianggap merestui menetesnya darah seorang pembangkang raja.
Reaksi atas fakta sosial yang diciptakan penguasa, melalui dialektika intelektual yang panjang, akhirnya melahirkan pemberontakan dalam pengertian fisik maupun revolusi gagasan. Anti tesis yang dikembangkan kalangan Protestan telah memunculkan tradisi baru berupa rasionalitas relasi dan struktur masyarakat kapitalis industri sebagaimana disebut oleh Webber dalam The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism. Durkheim menyebut tradisi ini sebagai transformasi masyarakat mekanik yang emosional menuju masyarakat organik yang mendasarkan hubungan antar masyarakatnya dibangun secara rasional.
Bila kemudian tradisi modernisasi menjadi referensi bagi pembangunan politik suatu masyarakat, maka evolusi Darwin akan secara dominan memainkan peran dalam memahami perubahan struktur dan budaya. Perubahan secara gradual, harmonis, dan terstruktur rapi menjadi satu steorotipe yang bisa digunakan untuk memasukkan suatu pranata masyarakat dalam tahap-tahap perkembangan politik. Pendekatan yang banyak dipengaruhi oleh struktural fungsionalisme Parson ini mau tak mau harus menempatkan Indonesia sebagai masyarakat yang baru memasuki era transisi dari mistifikasi-emosional politik menuju pada rasional-industrialisasi politik.
Di tengah situasi semacam itulah saat ini Indonesia berada, yaitu satu situasi yang telah dilalui Eropa lebih dari setengah milenium yang lalu. Tentu bukan bermaksud mengadopsi replikasi perkembangan politik Barat tanpa reserve, tulisan ini dibuat. Namun lebih merupakan kontemplasi untuk mengambil pelajaran dari bangsa-bangsa lain.
Dalam dinamika politik yang hiruk pikuk seperti sekarang Indonesia dihadapkan pada dilema yang sama-sama muncul di waktu bersamaan. Di satu sisi Indonesia telah ditempatkan sebagai satu model yang mengadopsi modern state dalam perilaku bernegara. Tetapi, di pihak lain masih secara dominan berlaku struktur budaya yang sesungguhnya tidak mendukung bagi perkembangan modern state.
Kemandirian masyarakat yang mampu berdiri tegak, dan bahkan secara oposisional berhadapan dengan negara, hampir-hampir absurd ditemukan. Usaha yang diperjuangkan NU di Indonesia dalam membangun masyarakat sipil di era orde baru sesungguhnya telah menapaki satu fase pembangunan masyarakat sipil yang mandiri. Kemampuan Abdurrahman Wahid dalam memahami konteks kemandirian masyarakat telah membuat NU memiliki keteguhan bersikap terhadap negara.
Degradasi baru mulai nampak justru saat NU mulai diuji konsistensinya mengenai kemandirian politik, tepat ketika Abdurrahman dinobatkan sebagai presiden. Pembangunan struktur masyarakat organik yang rasional mengalami hambatan yang luar biasa besar di saat-saat sekarang. Dan bahkan mengalami set back yang juga tidak kepalang tanggung.
Fenomena gereja abad pertengahan mengalami repetisinya secara kongruen di Indonesia saat ini. Hegemoni negara dan mitologisasi kembali dibangun dalam satu rekayasa yang muncul, sayangnya, justru dari komunitas NU. Menempatkan diri Presiden Wahid sebagai wali, mau tak mau memberikan dampak pada relasi sosial yang dibangun. Ketidaksejajaran dalam relasi itulah yang akhirnya berdampak pada bagaimana masyarakat memperlakukan dirinya. Bebas kritik, selalu benar, dan bebas berbuat sekehendaknya, merupakan sejumlah karakter yang terhimpun dalam diri seorang yang dimaklumatkan sebagai wali.
Desakralisasi yang dikampanyekan sehari-hari tidak akan mampu menemui makna sejatinya dalam realitas ketika dunia politik Indonesia masih dicampuri oleh irasionalitas mistis. Penumbangan korporatisme negara yang berdiri di balik legitimasi religius harus dilakukan. Tentu bukan dengan membubarkan NU, namun mengembalikan NU pada kesejatiannya sebagai instrumen keagamaan yang mandiri, terbebas dari intervensi negara.
Bila NU terus mengambil peran yang seharusnya dilakukan PKB, maka sesungguhnya NU telah menegara. Dan menempatkan diri secara oposisional dengan rakyat. Dan dalam waktu lama Indonesia akan dihinggapi trauma kegagalan dalam membangun masyarakat sipil.
Tradisi sekularisasi yang digagas oleh agama-agama langit pun sejatinya, menurut Romo Magnis, justru memberikan penegasian terhadap segala macam bentuk legitimasi religius. Agama langit memberikan penolakannya yang keras terhadap praktik-praktik personifikasi terhadap Tuhan dalam diri seorang pemuka agama. Yang justru memberikan peluang bagi terciptanya konspirasi antara agama dan negara dalam memarginalisasikan masyarakat.
Dan puncaknya, usaha menyelesaikan perselisihan antar institusi negara dengan mempertemukan NU dan Muhammadiyah, jelas tidak menemui relevansinya. Karena perilaku modern state sepenuhnya merupakan persoalan yang dibangun antara seseorang yang menduduki jabatan publik dengan publik itu sendiri yang menjadi konstituennya. Bila kemudian NU dan Muhammdiyah berdamai—itupun kalau memang persilihan antar keduanya itu benar ada— tak berarti persoalan ketatanegaraan akan selesai dengan sendirinya. Yang harus dipahami adalah, keduanya masuk dalam wilayah yang berbeda satu sama lain.
Pendidikan politik masyarakat yang dikerjakan secara konsisten oleh NU tak boleh berhenti di saat Abdurrahman Wahid “berhenti” sebagai masyarakat, dan berubah menjadi negara. Namun harus terus dilanjutkan untuk membangun masyarakat yang rasional, modern, dan kosmopolitan. ***