Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 623 SM di Taman Lumbini, saat Ratu Maha Maya berdiri memegang dahan pohon sal.  Pada saat ia lahir, dua arus kecil jatuh dari langit, yang satu dingin  sedangkan yang lainnya angat. Arus tersebut membasuh tubuh Siddhartha.  Siddhartha lahir dalam keadaan bersih tanpa noda, berdiri tegak dan  langsung dapat melangkah ke arah utara, berpijak bunga teratai. Oleh  para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala diramalkan bahwa  Pangeran Siddharta kelak akan menjadi Maharaja Diraja atau akan menjadi  seorang Buddha.  Hanya pertapa Kondañña yang dengan pasti meramalkan bahwa Sang Pangeran  kelak akan menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda  menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak ada  yang akan mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan Sang Raja, para  pertapa itu menjelaskan agar Sang Pangeran jangan sampai melihat empat  macam peristiwa, atau ia akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Empat  macam peristiwa itu adalah:
 - Orang tua,
- Orang sakit,
Masa kecil
Sejak kecil sudah terlihat bahwa Sang  Pangeran adalah seorang anak yang cerdas dan sangat pandai, selalu  dilayani oleh pelayan-pelayan dan dayang-dayang yang masih muda dan  cantik rupawan di istana yang megah dan indah. Dalam usia 16 tahun Pangeran Siddharta menikah dengan Puteri Yasodhara yang dipersuntingnya setelah memenangkan berbagai sayembara.  Ternyata akhirnya Sang Pangeran melihat empat peristiwa yang selalu  diusahakan agar tidak berada di dalam penglihatannya, setelah itu  Pangeran Siddharta tampak murung dan kecewa melihat kenyataan hidup yang  penuh dengan derita ini. Dalam Usia 7 tahun Pangeran Siddharta telah  mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Tetapi Pangeran Siddharta kurang  berminat dengan pelajaran tersebut. Pangeran Siddharta mendiami tiga  istana, yaitu istana musim semi, musim hujan dan pancaroba.
  Masa dewasa
Ketika beliau berusia 29 tahun, putera pertamanya lahir dan diberi nama Rahula. Setelah itu Pangeran Siddharta meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, untuk pergi berguru mencari ilmu sejati yang dapat membebaskan manusia dari usia tua, sakit dan mati.  Pertapa Siddharta berguru kepada Alära Käläma dan kemudian kepada  Uddaka Ramäputra, tetapi tidak merasa puas karena tidak memperoleh yang  diharapkannya. Kemudian beliau bertapa menyiksa diri dengan ditemani  lima orang pertapa. Akhirnya beliau juga meninggalkan cara yang ekstrim  itu dan bermeditasi di bawah pohon Bodhi untuk mendapatkan Penerangan  Agung.
 Kata-kata pertapa Asita  membuat Baginda tidak tenang siang dan malam, karena khawatir kalau  putra tunggalnya akan meninggalkan istana dan menjadi pertapa,  mengembara tanpa tempat tinggal. Untuk itu Baginda memilih banyak  pelayan untuk merawat Pangeran Siddharta, agar putra tunggalnya  menikmati hidup keduniawian. Segala bentuk penderitaan berusaha  disingkirkan dari kehidupan Pangeran Siddharta, seperti sakit, umur tua,  dan kematian. Sehingga Pangeran hanya mengetahui kenikmatan duniawi.
 Suatu hari Pangeran Siddharta meminta  ijin untuk berjalan di luar istana, dimana pada kesempatan yang berbeda  dilihatnya “Empat Kondisi” yang sangat berarti, yaitu orang tua, orang  sakit, orang mati dan orang suci. Sehingga Pangeran Siddharta bersedih  dan menanyakan kepada dirinya sendiri, “Apa arti kehidupan ini, kalau  semuanya akan menderita sakit, umur tua dan kematian. Lebih-lebih mereka  yang minta pertolongan kepada orang yang tidak mengerti, yang sama-sama  tidak tahu dan terikat dengan segala sesuatu yang sifatnya sementara  ini!”. Pangeran Siddharta berpikir bahwa hanya kehidupan suci yang akan  memberikan semua jawaban tersebut.
 Selama 10 tahun lamanya Pangeran  Siddharta hidup dalam kesenangan duniawi. Pergolakan batin Pangeran  Siddharta berjalan terus sampai berusia 29 tahun, tepat pada saat putra  tunggalnya Rahula lahir. Pada suatu malam, Pangeran Siddharta memutuskan  untuk meninggalkan istananya dan dengan ditemani oleh kusirnya, Canna.  Tekadnya telah bulat untuk melakukan Pelepasan Agung dengan menjalani  hidup sebagai pertapa.
  Masa pengembaraan
Didalam pengembaraannya, pertapa Gautama mempelajari latihan pertapaan dari pertapa Bhagava dan kemudian memperdalam cara bertapa dari dua pertapa lainnya, yaitu pertapa Alara Kalama dan pertapa Udraka Ramputra.  Namun setelah mempelajari cara bertapa dari kedua gurunya tersebut,  tetap belum ditemukan jawaban yang diinginkannya. Sehingga sadarlah  pertapa Gautama bahwa dengan cara bertapa seperti itu tidak akan  mencapai Pencerahan Sempurna. Kemudian pertapa Gautama meninggalkan kedua gurunya dan pergi ke Magadha untuk melaksanakan bertapa menyiksa diri di hutan Uruwela, di tepi Sungai Nairanjana yang mengalir dekat Hutan Gaya. Walaupun telah melakukan bertapa menyiksa diri selama enam tahun di Hutan Uruwela, tetap pertapa Gautama belum juga dapat memahami hakekat dan tujuan dari hasil pertapaan yang dilakukan tersebut.
 Pada suatu hari pertapa Gautama dalam  pertapaannya mendengar seorang tua sedang menasehati anaknya di atas  perahu yang melintasi sungai Nairanjana dengan mengatakan:
 | “ | Bila senar kecapi ini dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Kalau terlalu dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Bila senar kecapi ini dikendorkan, suaranya akan semakin merendah. Kalau terlalu dikendorkan, maka lenyaplah suara kecapi itu | ” | 
Nasehat tersebut sangat berarti bagi  pertapa Gautama yang akhirnya memutuskan untuk menghentikan tapanya lalu  pergi ke sungai untuk mandi. Badannya yang telah tinggal tulang hampir  tidak sanggup untuk menopang tubuh pertapa Gautama. Seorang wanita  bernama Sujata memberi pertapa Gautama semangkuk susu. Badannya  dirasakannya sangat lemah dan maut hampir saja merenggut jiwanya, namun  dengan kemauan yang keras membaja, pertapa Gautama melanjutkan  samadhinya di bawah pohon bodhiAsetta) di Hutan Gaya, sambil berprasetya,  “Meskipun darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulang jatuh  berserakan , tetapi aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai aku  mencapai Pencerahan Sempurna.” (
 Perasaan bimbang dan ragu melanda diri  pertapa Gautama, hampir saja Beliau putus asa menghadapi godaan Mara,  setan penggoda yang dahsyat itu. Dengan kemauan yang keras membaja dan  dengan iman yang teguh kukuh, akhirnya godaan Mara dapat dilawan dan  ditaklukkannya. Hal ini terjadi ketika bintang pagi memperlihatkan  dirinya di ufuk timur.
 Sekarang pertapa Gautama menjadi terang  dan jernih, secerah sinar fajar yang menyingsing di ufuk timur. Pertapa  Gautama telah mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi Samyaksam-Buddha  [Sammasam-Buddha], tepat pada saat bulan Purnama Raya di bulan Waisak ketika ia berusia 35 tahun (menurut versi Buddhisme Mahayana, 531 SM pada hari ke-8 bulan ke-12, menurut kalender lunar.  Versi WFB, pada bulan Mei tahun 588 SM). Pada saat mencapai Pencerahan  Sempurna, dari tubuh Sang Siddharta memancar enam sinar Buddha  (Buddharasmi) dengan warna birukuning mengandung arti kebijaksanaan dan pengetahuan; merah yang berarti kasih sayang dan belas kasih; putihjingga berarti giat; dan campuran kelima sinar tersebut. yang berarti bhakti;  mengandung arti suci.
 03.54
03.54
 Unknown
Unknown
 




 
 
 
