Kamis, 29 Desember 2011

filsafat abad pertengahan

PENDAHULUAN
Permulaan Abad Pertengahan barangkali dapat dimulai sejak Plotinius. Pada Plotinius (lahir 204 M), pengaruh agama Kristen kelihatannya sudah besar; filsafatnya berwatak spiritual.
Pada bab ini uraian akan dimulai dengan penjelasan tentang pemikiran Plotinius. Kemudian beberapa tokoh utama Abad pertengahan diuraikan juga, tetapi jelas tidak semuanya. Augustinus yang mempunyai ajaran khas, Aquinas yang terkenal dengan lima dalil tentang adanya Tuhan, Anselmus yang mengeluarkan istilah credo ut intelligam. Secara ringkas Plotinus adalah filosof pertama yang mengajukan teori penciptaan alam semesta. Ia mengajukan teori emanasi yang terkenal itu. Filsafat Plotinus kebanyakan bernapas mistik, bahkan tujuan filsafat menurut pendapatnya adalah mencapai pemahaman mistik.

PLOTINUS
Kehidupan Plotinus
            Plotinus di lahirkan pada tahun 204 di Mesir, mungkin di daerah Lycopolis. Pada tahun 232 ia pergi ke Alexandria untuk belajar filsafat, pada seorang guru benama Animonius Saccas, selama 11 tahun. Pada tahun 243 ia mengikuti Raja Gordianus III berperang melawan Persia. Akan tetapi, sebelum dia sempat mempelajarinya, Raja Gordianus terbunuh pada tahun 244. pada umur 40 tahun dia pergi ke Roma. Di sana ia menjadi pamikir terkenal pada zaman itu. Tahun 270 ia meninggal di Minturnae, Campania, Itali. Muridnya yang bernama Porphyry mengumpulkan tulisannya yang berjumlah 54 karangan.
Metafisika Plotinius
            Sitem metafisika Plotinus di tandai oleh konsep transedens. Menurup pendapatnya, di dalam pikiran terdapat tiga realitas: The One, The Mind, dan The Soul.
            The One (Yang Esa) adalah Tuhan dalam pandangan Philo yaitu suatu realitas yang tidak mungkin dapat di pahami melalui metode sains dan logika.
            The Mind adalah gambaran tentang yang Esa dan di dalamnya mengandung idea-idea Plato. Idea-idea itu merupakan bentuk asli objek-objek.
            The Soul adalah realitas ke tiga dalam filsafat Plotinus. Sebagai arsitek semua fenomena yang ada di alam ini, Soul itu mengandung satu jiwa dunia dan bayak dunia kecil. Jiwa dunia dapat dilihat dua aspek, ia adalah energi di belakang dunia, dan pada waktu yang sama ia adalah bentuk-bentuk alam semesta.
            Teori tentang tiga realitas ini mengingatkan kita kepada teologi trinitas yang dianut oleh kristen, tampak sekali banyak persamaannya. Teologi trinitas itu pada masa Plotinus memang sedang dalam pembentukannya, atau katakanlah sedang dalam perumusan. Pusat dokrin tentang Tuhan dalam agama Kristen adalah bahwa Tuhan berada di dalam Tiga Pribadi, yaitu Bapak, Anak, dan Roh Kudus. Akan tetapi, pada waktu yang sama Gereja Kristen menyatakan bahwa Tuhan itu esa dalam substansinya; hal itu merupakan misteri yang berada di atas pemahaman akal logis manusia.

THOMAS AQUINAS

Thomas Aquinas adalah filsuf dan teolog Abad Pertengahan Eropa terbesar. Abad Pertengahan di Eropa adalah zaman keemasan bagi kristianitas. Alam pikir dalam masa ini juga kerap mendapat reaksi keras dari masa-masa sesudahnya, yaitu abad-abad modern. Salah satu usaha yang menjadi minat besar para filsuf abad ini adalah menyelaraskan iman dan rasio. Thomas Aquinas berhasil mempersatukan ajaran-ajaran Augustinus yang sampai saat itu menentukan pemikiran di Eropa, dengan filsafat Aristoteles, dan dengan demikian memberikan impuls-impuls baru bagi kehidupan intelektual di Barat. Sejak Thomas Aquinas, filsafat mulai berkembang sebagai ilmu tersendiri.   
Thomas dilahirkan di Rocca Sicca di Italia pada tahun 1225. Di masa sekolahnya, tubuhnya yang berat dan lamban menyebabkan dia mendapat julukan "lembu bebal". Di tahun-tahun kemudian tulisan-tulisannya sangat banyak, sangat luas dalam jangkauan maupun tingkat kepentingannya, sehingga ia memperoleh sebutan Doktor Malaikat (Angelic Doctor). Pengaruhnya telah menjadi sangat luas sehingga pada waktu-waktu kemudian ia disebut sebagai Doktor Umum (Common Doctor) dari Gereja Katolik.
Menjelang usia 20 tahun ia bergabung dengan tarekat Santo Dominikus dan menjadi murid Albertus Magnus di Paris dan Köln. Setelah studinya selesai ia mengajar teologi di Universitas Paris dan Köln dan di berbagai tempat lain di Italia. Ia meninggal dalam usia 49 tahun pada 1274 di biara Fossanuova dalam perjalanannya ke Muktamar Gereja di Lyon. Thomas Aquinas menjadikan Aristoteles dasar pemikirannya tetapi dengan tidak menyingkirkan gagasan-gagasan dasar Augustinus. Ia memperlihatkan bahwa atas dasar kerangka pikiran Aristoteles, teologi Augustinus dapat diberi pendasaran yang lebih mantap.
Dua karya utama Thomas adalah berupa Summae, artinya ikhtisar teologi dan filsafat yang sangat luas. Summae contra Gentilis disusun dan dimaksudkan sebagai sebuah buku pelajaran (textbook) bagi para misionaris. Summae Theologiae (yang edisi kritis terkahirnya sampai terdiri dari 60 jilid) telah digambarkan sebagai "prestasi tertinggi dari sistem teologis Abad Pertengahan dan dasar yang diterima untuk teologi Katolik Roma modern". Memang, karya-karya Thomas termasuk sebagai karangan-karangan terpenting dari seluruh kesusasteraan kristiani. Dalam karya-karyanya yang kebanyakan bersifat teologis, terdapat suatu sintesis filsafat yang mencolok, sintesis yang belum pernah ada.
Meskipun Thomas mempunyai maksud utama untuk menciptakan suatu teologi, ia tetap mengakui otonomi filsafat yang mendasarkan diri kepada kemampuan akal budi yang dimiliki manusia demi kodratnya. Menurutnya, akal memampukan manusia untuk mengenali kebenaran dalam kawasannya yang alamiah. Sedangkan teologi memerlukan wahyu adikodrati. Berkat wahyu adikodrati, teologi dapat mencapai kebenaran yang bersifat misteri dalam arti ketat (misalnya, hal trinitas, inkarnasi, sakramen). Oleh karena itu teologi memerlukan iman. Iman adalah suatu sikap penerimaan atas dasar wibawa Allah. Dengan beriman manusia dapat mencapai pengetahuan yang mengatasi akal, pengetahuan yang tidak dapat ditembus oleh akal semata. Meskipun misteri ini mengatasi akal, ia tidak bertentangan dengan akal. Ia tidak anti akal. Dan meskipun akal tidak dapat menemukan misteri, akal dapat meratakan jalan yang menuju ke misteri.
Dengan perkataan lain, Thomas memperlihatkan adanya dua macam pengetahuan yang tidak saling bertentangan melainkan berdiri sendiri secara berdampingan. Pengetahuan itu adalah pengetahuan alamiah dan pengetahuan iman. Pengetahuan alamiah berpangkal pada terang akal budi dan yang sasarannya adalah hal-hal yang bersifat insani dan umum. Pengetahuan iman berpangkal pada wahyu adikodrati dan yang sasarannya adalah hal-hal yang diwahyukan Allah secara khusus, yang disampaikan kepada kita melalui kitab suci di dalam tradisi Gereja. Meskipun begitu perlu dicatat juga bahwa ada hal-hal yang termasuk baik bidang filsafat maupun teologi (misalnya, pengetahuan tentang Allah dan jiwa). Karena itu, filsafat dan teologi dapat diumpamakan dengan dua buah lingkaran yang - sekalipun yang satu berada di luar yang lain - bagian tepinya ada yang bertindihan.
Dua pokok pengajaran yang berhubungan dengan diskusi-diskusi sekarang ini adalah: Pertama, bukti-bukti tentang keberadaan Allah (supaya tahu bahwa Allah itu ada), dan Kedua, ajarannya mengenai analogi (supaya tahu beberapa sifat Allah).
Thomas memang berpendapat bahwa rasio insani dapat mengenal adanya Allah, meskipun secara tidak langsung melainkan hanya melalui ciptaan-ciptaan. Oleh karena itu ia menolak pembuktian yang diberikan oleh Anselm dengan argumentasi "ontologis"-nya yang bersifat apriori.
Istilah ontologi merupakan cabang filsafat mengenai keberadaan. Tetapi istilah argumentasi ontologis biasanya digunakan untuk argumentasi akan perlunya keberadaan Allah, yang tidak bergantung atas fakta-fakta yang nampak atau kelihatan melainkan atas implikasi dari ide-ide tertentu. Pernyataan Anselm mengenai hal itu muncul dalam Proslogion-nya. Di sini Anselm berusaha menyusun suatu pemaparan logis tentang eksistensi (keberadaan) Allah. Ia menggambarkan Allah sebagai Yang terbesar yang dapat dipikirkan (tidak ada yang lebih besar dari-Nya yang dapat dipikirkan). Argumentasinya biasa dipikirkan sebagai suatu usaha menarik kesimpulan tentang keberadaan Allah dari gagasan mengenai keberadaan yang paling sempurna. Tidak dapat disangkal bahwa orang-orang memiliki konsep mengenai satu keberadaan yang sempurna seperti itu di dalam pikiran mereka. Maka bagaimana mungkin konsep semacam demikian bisa muncul kalau tidak ada keberadaan yang seperti itu? Kalau itu hanya suatu konsep di dalam pikiran dan tidak benar-benar ada, maka itu tidak mungkin keberadaan yang paling sempurna. Sebab mengurangi kualitas eksistensi akan berarti bahwa pribadi itu tidak sempurna. Menurut tafsiran umum, Anselm menerima sebagian dari teologi natural/kodrati/metafisik (natural theology-cabang filsafat; artinya bukan teologi/teologi wahyu/revealed theology-bukan cabang filsafat). Ia berusaha membuktikan keberadaan Allah tanpa memperhatikan iman serta pengajaran kristen. Ia mencoba menemukan beberapa konsep umum di mana baik orang-orang percaya maupun tidak percaya dapat diteguhkan dengan harapan: "memenangkan" mereka yang tidak percaya, dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa percaya terhadap Allah bukanlah sesuatu khayalan belaka. Sikapnya ialah: Buktikan dulu kemudian Anda boleh percaya. Ini mengambil semacam proses dua langkah dalam apologetika. Langkah pertama adalah memakai filsafat untuk meletakkan dasar-dasar; langkah kedua adalah memperkenalkan iman Kristen di atas kekuatan argumentasi-argumentasi filsafat. Kesulitannya memang, jika langkah pertama gagal, langkah kedua akan tinggal terkatung-katung di udara, dan kita dibiarkan berpikir-pikir apakah ada alasan-alasan yang tepat untuk menerimanya.

EPIKUROS
Epikuros lahir pada tahun 314 SM di Samos, Yunani dan meninggal di Athena pada tahun 270. Ia seorang pribadi yang halus, luhur, dan memikat. Ia dipuji karena kesederhanaannya, sikapnya yang lemah lembut, kebaikan hatinya, dan paham persahabatannya yang mendalam. Ucapan-ucapannya boleh dibilang dikeramatkan oleh murid-muridnya. Sayangnya, lebih dari 300 tulisannya yang tidak hilang hanyalah beberapa potongan. Lain halnya dengan Plato dan Aristoteles, Epikuros dan murid-muridnya tidak berminat memikirkan apalagi terjun ke dalam bidang politik. Sekitar tahun 300 SM, Epikuros mendirikan sebuah sekolah filsafat Athena dengan nama "Epikureanisme". Nama ini kemudian akan menjadi salah satu aliran besar filsafat Yunani sesudah Aristoteles, di mana proses perjalanan dalam panggung sejarah filsafat Barat Klasik diakhiri pada masa Hellenis. Zaman Epikuros adalah permulaan Hellenisme. Masa ini ditandai dengan kehadiran Alexander Agung pada abad IV yang menjadikan Yunani sebagai bangsa besar lengkap dengan kebudayaannya yang menghilangkan posisi polis.
Inti Ajaran
"Kebahagiaan hidup adalah kenikmatan," demikian inti ajaran yang disampaikan oleh Epikuros. Kenikmatan adalah satu-satunya yang baik, sekaligus awal dan tujuan hidup yang membahagiakan. Maka segala macam keutamaan hanya berarti sejauh membawa seseorang kepada kenikmatan.
Apa itu kenikmatan? Kenikmatan, menurut Epikuros, sebagai keadaan tidak adanya rasa sakit dan kegelisahan. Memang kenikmatan yang perlu diperoleh ialah inderawi juga namun yang lebih utama adalah ketenangan jiwa. Selanjutnya, ia menganjurkan agar untuk mencapai ketenangan jiwa, seseorang perlu menjauhkan diri dari hidup berpolis. Polis memiliki risiko tinggi terhadap ketenangan jiwa. Sebaliknya, dengan menjalin relasi dan persahabatan dengan rekan-rekan akan lebih menunjang tercapainya ketenangan jiwa. Epikuros juga tidak segan-segan menyarankan seseorang untuk mati raga dalam memuaskan kenikmatan yang bersifat sementara untuk mencapai kenikmatan yang bersifat "lebih menguntungkan".
Basis Argumen
Agar kenikmatan tercapai maka perlu disingkirkan beberapa hal. Pertama, dengan berangkat dari teori atom Democritos yakni bahwa seluruh realitas terbentuk dari gugusan atom, Epikuros menambahkan bahwa tidak semua atom-atom itu bergerak membentuk garis linear ke bawah. Ini berarti bahwa ada atom-atom yang entah mengapa jatuh dengan gerak yang melenceng. Di satu pihak, pelbagai kejadian alam berlangsung mekanis. Sedangkan di lain pihak, adanya atom yang bergerak melenceng membuktikan adanya takdir. Takdir yang dimaksud sebagai ketentuan dewata yang secara mutlak mengarahkan gerak segala sesuatu termasuk tindakan dan nasib manusia.
Kedua, sikap takut kepada para dewa dan kepada kematian juga perlu disingkirkan sebab keduanya tidaklah beralasan. Para dewa tidak memiliki hubungan dengan segala kejadian di dunia ini termasuk dengan manusia. Mereka adalah makhluk abadi yang tinggal di alam "sana". Maka manusia tidak perlu takut kepada para dewa hanya untuk mendapatkan kenikmatan. Demikian juga rasa takut kepada kematian. Kemampuan untuk merasakan sesuatu ialah ciri dari hal yang bersifat sementara. Dengan ini, bila terjadi kematian, maka secara total manusia mengalami ketidakmampuan untuk merasakan sesuatu. Selama kita masih hidup kita masih hidup dan merasakan sesuatu. Sedangkan saat kematian tiba maka kita sudah tidak mampu lagi merasakan apa pun.

AUGUSTINUS

Pada pertengahan abad pertama muncul juga Gereja Kristiani. Penyebaran ajaran iman Kristiani dan kesatuan umatnya cukup didukung dengan adanya kebudayaan Helenisme dan kesatuan serta semua fasilitasi (misalnya perjalanan) dalam Kerajaan Roma. Meskipun demikian, terjadi pertentangan juga karena orang Kristiani tidak ikut dalam pendewaan kaisar yang dituntut bagi semua warga demi kesatuan dan kemuliaan Kerajaan Roma. Ini mengakibatkan pengejaran dan penganiayaan atas orang Kristiani. Meskipun demikian, selama beberap periode, Gereja cukup berkembang di seluruh wilayah Roma (dan di sebelah Timur: Persia, India). Setelah penganiayaan hebat pada permulaan abad IV, akhirnya pada tahun 313 Kaisar Konstantinus mengeluarkan maklumat di kota Milano yang memberi kebebasan beragama kepada semua penduduk Kerajaan Roma. Sebelum meninggal, ia sendiri dibaptis menjadi Kristiani. sesudah itu, kedudukan dan peranan Gereja Kristiani menjadi sangat mencolok, bukan hanya dalam penghaytan iman dan ibadat, tetapi juga dalam refleksi atas iman baik dalam tukar pikiran dengan orang-orang bukan Kristiani (cendikiawan, filsuf dan sebagainya) maupun usaha orang Kristiani sendiri untuk memperdalam unsur pengetahuan atas iman.
Refleksi itu sebenarnya sudah dirintis dalam lingkungan Yahudi di wilayah yang dipengaruhi Helenisme. Misalnya tokoh Filo dari Aleksandria di Mesir (20 S.M.-50 M.) yang berkeyakinan bahwa ada kesinambungan antara iman dengan akal karena kedua-duanya berasal dari Allah sebagai satu-satunya sumber kebenaran, yang dikenal baik melalui iman maupun akal. Pemikiran seperti itu juga masih muncul dalam umat Kristiani purba antara lain dari Yustinus (100-165) dan dari sekelompok pengajar Kristiani di Mesir seperti Clemnes (150-212) dan Origenes (185-254), yang sebangsa dengan Plotinos. Pada saat yang sama, muncul juga pemikiran yang menantang dengan keras, khususnya Tertulianus (160-223), dan juga dari Afrika utara (Kartago, wilayah Tunisia sekarang) yang sangat menekankan perbedaan dasar antara iman Kristiani dengan akal, baik karena Allah itu tak terjangkau oleh akal yang lemah, maupun karena manusia berdosa secara menyeluruh sehingga hasil akal budinya tidak bisa diandalkan: "credo quia absurdum" (aku percaya justru karena tidak masuk akal).
Setelah tahun 313, dalam lingkungan Gereja Kristiani muncul puluhan pemikir besar yang berusaha menyoroti pokok-pokok iman Kristiani dilihat dari sudut pengertian dan akal budi. Mereka sering dinamai "pujangga Gereja" dan dianggap sebagai teolog, dengan akibat filsafat yang termuat dalam ajaran mereka kurang diangkat meskipun tetap sejalur dengan lanjutan Neo-Platonisme. Salah satu dari antara mereka adalah Augustinus.
Augustinus berasal dari wilayah yang sama dengan Tertulianus, propinsi Numidida di Afrika Utara dengan ibukota Kartago. Ia mendapat pendidikan Kristiani dari Monika, ibunya. Tetapi sejak usia muda, iman sudah tidak berarti baginya, terutama setelah ia belajar di Madaura. Kemudian ia ke Kartago untuk mempelajari tata bahasa, sastra, retorika. Tujuannya agar ia mampu berbicara di muka umum, menyatakan apa saja yang ingin didengar orang, karena ia memiliki keinginan yang besar untuk menjadi orang penting dan duduk di lapisan teratas masyarakat. Ia memang sangat berbakat.
Menurut pengakuannya sendiri, selama masa muda itu, ia hidup berfoya-foya. Ia mempunyai latar belakang pemikiran filsafat dari aliran Manikeisme yang mempunyai pandangan hidup dualistis. Filsafat ini memberikan toleransi besar terhadap segala kelemaham manusia dengan beranggapan bahwa kaum "jasmani" atau para "pendengar" tidak dapat lain daripada berharap bahwa pada penitisan kembali, mereka akan lahir sebagai yang "terpilih" dan mendapatkan keselamatan. Untuk sementara waktu dalam hidup "jasamani" ini mereka memberi toleransi kepada kejasmanian dan kelemahan mereka.
Beberapa waktu kemudian ketika sudah pindah ke Roma dan mengalami kegagalan dalam mencapai sukses yang diharapkan, ia pindah ke aliran skeptisisme yang menganggap dirinya sebagai ahli waris terakhir dari Akademia Plato. Aliran ini sedikit berbeda dengan Plato karena mempunyai anggapan bahwa tidak mungkin manusia mencapai kepastian atau suatu kebenaran yang tetap (mirip dengan para Guru Sofis pada masa Sokrates). Mereka menganut relativisme mutlak dalam bidang pengetahuan maupun penilaian norma-norma etika.
Usahanya mendirikan perguruan di Roma gagal. Bermodalkan pengalaman hidupnya sendiri dan berdasarkan skeptisisme para penganut Akademia, seakan-akan ia tak sanggup lagi mengejar kebenaran atau menyetujui adanya pedoman hidup yang baik. Akhirnya ia mendapat undangan untuk mengajar di Milano.
Di tengah kemerosotan yang telah dialaminya, keinginannya untuk mengetahui masih membara dalam hatinya. Dalam situasi seperti itu ia berkenalan dengan karya Plotinos yang digubah oleh Porfirius (233-304) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Marius Victorinus. Semula Augustinus merasa sangat terkesan karena ajaran Neo-Platonisme itu menjadi sistem filsafat pertama yang diperkenalkan kepadanya. Dalam ajaran tersebut terdapat pemikiran yang konsisten dan bukan dualistis. Misalnya, tidak ada suatu asas dari segala yang jahat di samping asas dari segala yang baik. Yang jahat itu ada karena kekurangan dari yang baik. Augustinus juga diperkenalkan dengan filsafat yang menguraikan secara meyakinkan adanya nilai-nilai rohani yang dapat ditemukan manusia di dalam hatinya sendiri. Meskipun mengesankan Augustinus, ajaran ini belum memepunyai dampak atau pengaruh lebih mendalam baginya.
Pada saat tersebut, melalui beberapa temannya (di samping ibu Monika yang dengan setia mengikuti putranya), ia diharapkan kembali pada iman Kristiani. Di samping itu ia juga berkenalan dengan Uskup Ambrosius di Milano yang pemikirannya sangat dipengaruhi oleh Origenes. Menurut pengakuannya sendiri, ia semakin sanggup melihat bahwa keyakinan intelektual yang telah diperoleh melalui Neo-Platonisme seakan-akan menuntut suatu kelanjutan dalam praktik hidup yang kiranya tidak berasal dari filsafat tersebut.
Ia dibaptis menjadi seorang Kristiani oleh Ambrosius pada malam Paskah tahun 387. Dari masa dua tahun di sekitar peristiwa tersebut, kita mempunyai banyak karya filsafat dari Augustinus; meskipun jarang hanya filsafat semata-mata, karena karyanya waktu itu cukup dilatarbelakangi dan diwarnai oleh pengalaman pertobatannya. Salah satu rumus refleksi Augustinus mengenai perjalanannya menuju iman Kristiani termuat dalam karyanya yang termasyur, "Confessiones" ("Pengakuan" sekaligus "Puji-pujian kepada Allah"). Augustinus menggoreskan kekagumannya ketika membaca karya Plotinos, sekaligus menggoreskan perasaannya bahwa seakan-akan "belum sampai" kepada "sesuatu", yang baru sanggup dirumuskannya sesudah ia mulai beriman. Ialah bahwa "Nomen Christi non erat ibi" (nama Kristus belum terdapat dalam tulisan Neo-Platonisme itu). Demikian ringkasan atau kunci pemikiran dan filsafat Augustinus yang tetap bertahan untuk seterusnya dan yang termuat dalam karya besar dan khotbah-khotbahnya (ia menjadi imam tahun 391, lalu menjadi Uskup kota Hippo di Afrika Utara tahun 396 sampai akhir hidupnya). Perpisahan Augustinus dengan filsafat gaya Neo-Platonisme murni, terdapat dalam Confessiones (9, 100) mengenai hari terakhir sebelum Monika meninggal. Di situ terdapat percakapan mereka mengenai pengalaman hidup di bumi ini dan mengenai kebahagiaan di surga yang dijanjikan Tuhan. Peristilahan dalam percakapan itu secara mendalam bernada Neo-Platonisme sekaligus seluruhnya bernafaskan iman Krsitiani. Berikut ini disampaikan anggapan pandangan Augustinus mengenai sejumlah bidang dan cabang filsafat.
Epistemologi Augustinus bersifat iluminisme. Augustinus berkeyakinan bahwa manusia tidak sanggup mencapai kebenaran tanpa terang ("lumen") khusus dari Allah. Dari sudut yang lain, ia juga berkeyakinan bahwa dalam diri manusia secara alamiah terdapat suatu benih kebenaran yang tidak dapat padam atau mati. "Apabila tidak ada kebenaran, kiranya benar juga bahwa tidak ada kebenaran. Dengan itu adanya kebenaran sudah ditegaskan". Hal yang mirip dengan itu diuraikan Augustinus juga dalam wawancara "De Magistro" (Guru). Dikemukakannya bahwa proses belajar-mengajar itu dimungkinkan hanya karena ternyata dalam diri murid terdapat suatu "dasar pengetahuan" atau "pengertian" yang tinggal dihidupkan oleh perkataan dan penjelasan guru. Hal ini tidak bisa dibandingkan dengan "memberikan" pengetahuan seperti memberikan sebuah jeruk (merujuk pemikiran Sokrates). Itu semua terjadi dalam rangka pengetahuan iman.
Unsur-unsur filsafat manusia muncul dalam karya Augustinus saat ia memandang manusia sebagai ciptaan Allah. Dalam hal ini, ia menentang ajaran Neo-Platonisme yang tidak memakai istilah penciptaan ("creatio"), tidak membicarakan Allah sebagai Pencipta ("Creator"), dan yang tidak sanggup membedakan ciptaan dengan penciptanya (monisme yang bercorak panteisme). Menurut Augustinus, segala makhluk merupakan "vestigia Dei" ("jejak-jejak Allah") yang memaklumkan bahwa "Allah telah lewat". Manusia menjadi "vestigium Dei" sedemikian istimewa, sehingga disebut "imago Dei" ("citra Allah"). Manusia memantulkan siapa Allah itu dengan lebih jelas daripada segala ciptaan lainnya.
Dalam rangka itu, Augustinus menguraikan gejala manusia dengan memakai tiga istilah, yaitu mens - notitita -amor, sekali-kali juga memoria - intellectus - voluntas. Yang pertama, ("mens", "memoria") bukan hanya berarti ingatan saja, melainkan juga dasar segala kegiatan dan tindakan manusia sebagai makhluk yang sadar akan dirinya sendiri. Maka boleh dikatakan bahwa itu merupakan sumber kegiatannya, kekayaan dasarnya sebagai pribadi. Yang kedua, ("notitia", "intellectus") berkaitan dengan kegiatan pengetahuan. Yang ketiga, ("amor", "voluntas") menunjukkan kegiatan kehendak yang memuncak dalam cinta murni. Tritunggal seperti itu tidak asing dalam konteks pemikiran Neo-Platonisme dalam rangka irama keluar kembali berlingkaran, tetapi oleh Augustinus dalam De Trinitate, secara khusus hal tersebut dipergunakan untuk menggambarkan manusia sebagai ciptaan Allah sesuai dengan rumus yang ditemukannya dalam Kitab Suci Perjanjian Baru.
Usaha yang mirip dengan itu diucapkannya dengan perkataan lain yang bergema sampai dewasa ini yaitu, "Tuhanku, Engkaulah lebih tinggi daripada apa yang paling dalam dalam batinku" ("Deus meus superior summo meo; et interior intimo meo") ("Confessiones", 3, 6, 11) . Ini merupakan ungkapan yang merangkum pengalaman manusia tentang transendensi dan imanensi Allah dalam satu rumus. Inilah beberapa pokok filsafat ketuhanan Augustinus.
Dalam bidang etika, perlu diingat bahwa Augustinus bertahun-tahun lamanya mengalami ketidakmampuan untuk menyelenggarakan hidupnya dengan baik dengan latar belakang dualisme manikeisme. Sesudah menjadi Kristen dan Uskup, Augustinus menabrak keras anggapan Pelagius (350-425) dan pelagianisme yang beranggapan bahwa manusia sendiri karena ketegasan dan kerajinannya dapat berbuat baik dan menyelamatkan diri. Manusia tetap membutuhkan rahmat dari Allah. Dengan demikian ada kesejajaran iluminismenya tentang pengetahuan dengan ketidakmampuan manusia, dalam bidang etika, tanpa rahmat Allah.
Filsafat negara Augustinus menjadi terkenal juga. Baginya, filsafat negara tidak bisa lepas dari etika. Filsafat negaranya termuat dalam "Civitas Dei" ("Negara Allah") yang lebih merupakan teologi sejarah dengan beberapa pokok mengenai filsafat sejarah. Karya ini harus ditempatkan dalam konteks sejarah selama 20 tahun terakhir kehidupan Augustinus. Kegemilangan dan kekuatan politik Kerajaan Roma sudah mulai merosot karena kemewahan dan kelaliman para pemimpin dan karena penyerbuan bangsa-bangsa sebelah Timur, Timur Laut dan Utara.
Situasi tersebut ditanggapi Augustinus dalam konteks akhirat. Negara dan masyarakat yang kita alami merupakan pertempuran terus-menerus antara kekuatan buruk yang duniawi ("civitas terrena") dengan kekuatan baik dari Allah ("civitas Dei"). Akhirnya yang akan menang adalah kekuatan baik dari Allah. Perlu dihindari pengertian bahwa civitas terrena itu negara dan civitas Dei itu Gereja, karena keduanya mempunyai kedua unsur, baik dari civitas terrena maupun civitas Dei. Civitas Dei pun akan menang dalam diri manusia karena kekuatan Allah dan bukan semata-mata kekuatan manusia. 
Akhirnya, Augustinus dan karyanya, yang menjadi milik kebudayaan Barat dan yang dipengaruhi oleh iman Kristiani, kiranya lebih mendalam daripada Plato dan Aristoteles dalam batas-batas tertentu. Karya-karyanya mempengaruhi sejumlah besar filsuf dan teolog. Misalnya, Anselmus (abad XI), seluruh kelompok filsuf dan teolog sekolah Saint Victor di Paris (abad XII), Bonaventura, maupun Thomas Aquinas (abad XIII), Martin Luther, Malebranche, Pascal, Jansenisme, Maurice Blondel (abad XX). Dalam peringatan 1500 tahun wafatnya Augustinus, terjadi diskusi hebat mengenai ada tidaknya apa yang dinamakan "filsafat Kristiani".
Augustinus juga menyadari bahwa manusia tidak sanggup mencapai kebenaran sejati kalau tidak diterangi oleh yang ilahi. Meskipun demikian dalam diri manusia sudah ada benih kebenaran yang memungkinkannya untuk menguak kebenaran. Benih inilah yang ia sadari sebagai pantulan Allah sendiri, sehingga manusia merupakan citra Allah. Inilah yang menurutnya merupakan kedalaman yang paling dalam dalam diri manusia.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Web Hosting