Kamis, 29 Desember 2011

Demokrasi dan Kapitalisme

Oleh: B.Herry Priyono*

Orang tidak hanya hidup dari makanan, tetapi makanan merupakan prasyarat hidup. Dari situ mulailah perdebatan panjang tentang apa itu ‘hidup’ dan ‘makanan’. Bahwa perdebatan tentang hubungan keduanya dilakukan dengan teori dan statistik baru memang seiring dengan kesadaran historis kita bahwa ‘hidup’ bukan lagi hanya soal mengisi periuk, dan ‘makanan’ bukan lagi hanya soal nasi. Perdebatan tentang kaitan antara ‘demokrasi’ dan ‘kapitalisme’ mungkin merupakan penjelmaan moderen dari perkara itu.

Transformasi hubungan hidup-makanan menjadi soal kaitan antara demokrasi dan kapitalisme ditentukan oleh dua revolusi besar: munculnya negara-bangsa dan perusahaan. Yang pertama menyangkut teritorialisasi penguasaan kelompok orang. Yang kedua menyangkut cara menumpuk modal dan menghasilkan hal/barang. Sekarang yang pertama disebut negara, yang kedua kapitalisme. Keduanya menyangkut soal penguasaan: yang pertama atas orang, yang kedua atas hal/barang.

Demokrasi muncul ketika berkembang gagasan bahwa kekuasaan negara adalah hasil mandat banyak orang, bukan penentuan dewa/i, Allah ataupun leluhur. Pemilu maupun parlemen menjadi mekanisme penjamin bahwa kekuasaan adalah hasil mandat. Di samping pemilu dan perwakilan, kelompok-kelompok independen dalam masyarakat biasanya juga menjadi jaringan penjamin demokrasi: LSM, intelektual, asosiasi-asosiasi masyarakat, dsb.

Munculnya kapitalisme perusahaan membawa arus baru bagi demokrasi. Sejak itu demokrasi bukan lagi sekedar soal politik dalam arti sempit. Karena menguasai uang (modal serta produksi hal/barang), para kapitalis dianggap punya kekuasaan besar yang menentukan jalannya masyarakat, lebih besar daripada kekuasaan partai politik, LSM, intelektual, buruh.

Karena terus-tidaknya sebuah rezim dalam negara demokratis semakin ditentukan oleh sejauh mana rezim itu meningkatkan kesejahteraan ekonomi penduduk, maka para pejabat negara makin tidak bisa tidak dekat dengan para kapitalis. Logikanya sederhana: kegiatan ekonomi ditentukan oleh pembiakan modal, pembiakan modal ditentukan oleh berkembangnya investasi, dan investasi hanya terjadi kalau para kapitalis menanamkan modalnya. Maka para kapitalis lalu juga menjadi semacam “pejabat” dalam masyarakat. Karena itu amat sesat untuk menganggap ‘kapitalisme’ sebagai kawasan privat, sedang ‘negara’ sebagai urusan publik. Keduanya merupakan soal publik. 

 Paradoks

Di situlah terletak paradoks besar antara ‘demokrasi’ dan ‘kapitalisme’. Dalam demokrasi, pejabat negara yang tidak becus mengelola tugasnya bisa dituntut tanggung-jawabnya dan dipecat, lewat mekanisme mosi atau pemilu. Tetapi hal itu tidak berlaku bagi para kapitalis. Mereka tak bisa dituntut kalau mereka tidak melakukan investasi. Menanam atau tidak menanam modal menjadi hak mereka sendiri, bukan urusan publik dalam pengertian hukum.



Karena itu kalau kena krisis atau tuntutannya tidak dipenuhi, mereka tidak melakukan investasi atau malah melarikan modalnya ke luar negeri, tanpa bisa dituntut secara hukum. Kapitalis itu mirip anak kecil yang, kalau tuntutannya tidak didengar, akan minggat membawa mainannya. Bahwa pelarian itu mengakibatkan pengangguran dan kelaparan bukanlah urusan mereka. Charles Lindblom, seorang ekonom-politik liberal, mengingatkan paradoks ini dalam Politics and Markets (1977). Peringatan yang mirip juga diajukan oleh seorang Marxist, Fred Block, dalam Revising State Theory (1987).  

Di mana akar paradoks tersebut? Akarnya terletak pada keramatnya hak-milik pribadi. Ketidakseimbangan dalam hubungan antara pemerintah dan bisnis dengan demikian bisa diringkas sebagai berikut: pengelolaan negara merupakan urusan publik yang didasarkan pada pertanggung-jawaban publik, sedang pengelolaan ekonomi merupakan urusan publik yang didasarkan pada kebebasan pribadi. Maka dilihat dari aktivitas keduanya sebagai urusan publik, rumus paradoks hubungan pemerintah dan bisnis menjadi: Demokrasi [+ +] vs Kapitalisme [+ –].

Pada hemat saya, paradoks itu sedemikian penting untuk dipahami bagi konteks seperti Indonesia yang sedang tarik-ulur mencanangkan agenda demokratisasi. Pertama, karena fakta makin menentukannya kekuasaan modal para kapitalis terhadap kondisi ekonomi kita. Contoh: kebangkrutan perusahaan-perusahaan dan membengkaknya angka pengangguran sejak krisis ekonomi tahun 1997 punya hubungan langsung. Kedua, karena makin kuatnya pandangan bahwa kekuasaan besar para kapitalis itu akan mereka gunakan untuk memajukan demokrasi.

Pandangan terakhir di atas punya berbagai versi. Satu versi menganggap bahwa para kapitalis tidak suka intervensi dagang yang dilakukan rezim otoriter, maka lalu bersatu melawan otoritarianisme. Versi lain melihat bahwa para direktur, manajer dan pekerja mereka yang berdasi dan bersepatu hak-tinggi telah menjadi kelas menengah yang karena tidak lagi berpikir soal periuk, maka selanjutnya mengacungkan tuntutan demokratisasi.

Kedua-duanya tersesat. Versi pertama memaksa kita tertawa, karena di manapun yang namanya kapitalis tidak pernah bersatu ketika berhadapan dengan perkara sensitif politik. Mereka seperti atom-atom yang bergerak memburu target dan kepentingan sendiri. Versi kedua menggelikan, karena setelah tidak berpikir lagi soal isi periuk, kebanyakan kaum berdasi dan bersepatu hak tinggi di perusahaan lebih berpikir dan menuntut penambahan tilpon genggam, rumah, mobil, busana Calvin Klein, parfum Dolce Vita, atau pil Viagra. Atau mungkin menuntut demokrasi dengan menambah pemilikan rumah dan Calvin Klein?   

Ada versi lain yang jauh lebih menarik dan memaksa kita berpikir serius. Versi itu diajukan oleh akademisi seperti Richard Robison dan Andrew MacIntyre.

Kontradiksi


Seperti mungkin kita tahu, Robison dalam karya monumentalnya, Indonesia: The Rise of Capital (1986), menunjukkan dengan cermat bahwa klaim tiadanya kelas kapitalis di Indonesia tidak berlaku lagi di akhir 1970an. Kaum kapitalis di Indonesia bukan para borjuis yang independen dari pemerintah, melainkan para pejabat negara sendiri, para perwira militer, keluarga, sanak dan teman mereka, serta para pedagang Cina yang dekat dengan mereka. Kelahiran mereka sebagai kaum kapitalis berasal dari penguasaan mereka atas monopoli, kontrak dan konsesi dalam proyek-proyek pembangunan Orde Baru. Dari situ mereka berkembang menjadi para pangeran kerajaan bisnis yang sekarang kita kenal.

Sejak itu mereka dianggap memegang apa yang disebut ‘kekuasaan struktural’ sektor bisnis atas negara dan masyarakat. Artinya, jatuh-bangunnya ekonomi dan kesejahteraan penduduk Indonesia semakin ditentukan oleh para kapitalis itu. Menurut Robison, soalnya ialah bahwa semakin luas bisnis mereka, semakin mereka punya kepentingan yang lebih besar pada pembiakan kapitalisme. Praktik-praktik korup dan kolusif rezim otoriter-patrimonial (baca: irrasional) itu mengganggu, maka segera bertabrakan dengan etos bisnis kapitalis yang dianggap berdasar pada efisiensi dan efektivitas (baca: rasional). Itu berarti para kapitalis akan bersitegang dengan para birokrat/pejabat negara. Konflik kepentingan segera terjadi.

Bagi Robison, soalnya adalah bahwa kebanyakan kapitalis ialah sekaligus para pejabat negara, perwira militer atau keluarga serta teman-teman dekat mereka. Artinya, antara “pejabat” ekonomi dan pejabat politik tak ada (banyak) perbedaan. Maka konflik kepentingan itu tidak terjadi antara orang-orang yang berbeda, melainkan pada orang-orang yang sama. Cepat atau lambat, orang-orang yang sekaligus melakukan aktivitas ganda itu (kegiatan kapitalis dan pemerintahan) akan sampai pada satu titik di mana mereka terpaksa memilih: menjadi kapitalis atau menjadi birokrat. 

Di situlah, menurut Robison, letak sumber perubahan yang akan menjinakkan watak otoriter-patrimonial Orde Baru. Para kapitalis akan mengubah otoritarianisme melalui ‘kontradiksi sistem’ yang berlangsung antara irrasionalitas-otoritarianisme dan rasionalitas-kapitalisme. Maka dengan yakin Robison menulis di halaman 366: jelaslah bahwa prospek demokratisasi “terletak bukan pada kaum inteligensia kota, seperti dalam dasawarsa 1950an dan 1960an, melainkan pada para kapitalis pribumi.” Saya kira yang terjadi kemarin persis sebaliknya. 

Kata Yoon Hwan Shin dalam Demystifying the Capitalist State (1989), apa yang ada di Indonesia bukanlah kelas kapitalis, melainkan ‘para kapitalis dalam pembentukan’. Dan mereka tidak sekuat seperti yang dibayangkan Robison, karena tetap akan tergantung pada pemerintah. Ekonomi-politik di Indonesia tetap ditentukan oleh faksionalisme dalam birokrasi negara di mana para kapitalis itu berlindung. Namun tentang potensi para kapitalis, Shin menunjuk pada prospek terjadinya “kontradiksi esensial” antara modal dan negara, sebuah ramalan yang bahkan lebih tegas dibanding prediksi Robison: “... negara Indonesia dan para kapitalis sedang menuju titik tabrakan yang keras” (hlm. 429).

Lain lagi Andrew MacIntyre dalam Business and Politics in Indonesia (1990). Negara di Indonesia memang sangat kuat, tetapi secara fiskal makin tergantung pada bisnis sektor swasta, terutama sejak hancurnya harga minyak di tahun 1983. Sejak pertengahan dasawarsa 1980an, ekonomi Indonesia berpindah ke dominasi sektor swasta: dari 44% (1979-1983) menjadi 55% (1989-1993). Pergeseran itu juga diikuti oleh kekuatan makin besar dari sektor bisnis swasta untuk menekan pemerintah. Tetapi karena bingkai korporatis Orde Baru sangat kuat, tekanan dan penuntutan sektor swasta lebih efektif dilancarkan lewat saluran korporatis seperti KADIN, bukan lewat oposisi frontal dari luar. Saya sebut ini sebagai ‘formula korporatis’ yang bersifat tautologis: karena kuatnya gurita korporatisme, maka tuntutan kepada pemerintah lebih efektif dilancarkan melalui saluran korporatis.

Di hadapan otoritarianisme negara, ke arah mana kekuatan sektor bisnis swasta akan bergerak? Dalam ‘Business and Government in Indonesia’ (1994), MacIntyre yakin bahwa sektor bisnis akan membawa “rasionalisasi terhadap hubungan antara bisnis dan pemerintah” (hlm. 257). Artinya, prinsip efisiensi-efektivitas para kapitalis (rasionalitas) akan mengubah praktik-praktik korup dan kolusif rezim otoriter (irrasionalitas).

Meski saling berbeda dan sering bertentangan, beberapa refleksi serius tentang kaitan bisnis dan pemerintah di Indonesia itu punya warna yang mirip. Warna mirip itu mungkin bisa diringkas begini: meski asalnya dari hubungan kolusif, para kapitalis plus direktur dan manajer mereka akan menjadi kekuatan besar yang mengubah kecenderungan otoriter tata negara Indonesia serta praktik-praktik kolusif. Ada satu refleksi penting lain yang diajukan oleh Jeffrey Winters, Power in Motion (1996), yang menunjuk bahwa kebijakan ekonomi dan politik di Indonesia tidak ditentukan oleh kemauan pemerintah, melainkan oleh ‘mobilitas modal’ dan kontrol atas ‘modal yang mudah bergerak’ dalam bingkai ekonomi global.

Apa yang menarik dari beberapa refleksi itu ialah asumsi bahwa sektor bisnis dalam kapitalisme merupakan kekuatan “rasional” yang akan meluruskan apa yang tidak efisien, efektif dan transparan, atau apa yang korup, kolusif dan nepotis. Asumsi itu berakar pada oposisi konseptual yang dulu dibuat Max Weber antara ‘legal-rasional’ dan ‘patrimonial’. Namun oposisi seperti itu tentu saja sebuah tipe-ideal, untuk tidak mengatakan mitos.

 Mitos

Bahwa oposisi sektor bisnis sebagai “legal-rasional” dan negara Orde Baru sebagai “irrasional” itu merupakan mitos, sudah kelihatan dalam inti pemikiran refleksi-refleksi itu sendiri. Ambillah karya Robison yang, harus kita akui, merupakan terobosan besar dalam studi ekonomi-politik di Indonesia.

Kebanyakan kapitalis ialah sekaligus pejabat negara, perwira militer, sanak-saudara dan teman-teman mereka. Peran ganda politik dan ekonomi itu dipandang akan mengalami konflik. Tetapi konflik peran yang digagas oleh Robison itu tidak pernah terwujud menjadi momen kontradiksi sistem, karena memang tidak niscaya terjadi konflik antara ‘menjadi birokrat’ dan ‘menjadi kapitalis’. Sampai hari kejatuhan, para pejabat Orde Baru tetap kerasan menjadi birokrat sekaligus kapitalis. Kalaupun mereka mengalami konflik dalam identitas-ganda (birokrat dan kapitalis), itu bukan terjadi karena tuntutan rasionalitas bisnis kapitalis mereka, melainkan karena digedor oleh gelombang protes mahasiswa, intelektual, LSM dan oposisi lain. Klaim bahwa kapitalisme sama dengan rasionalitas adalah sebuah kesesatan logika. Begitu juga klaim bahwa kapitalisme dan otoritarianisme merupakan kontradiksi adalah kerancuan logika.   

Lalu bagi proses demokratisasi, bagaimana kekuasaan yang makin besar dari kaum kapitalis harus dipahami? Bahwa negara-negara demokratis pada umumnya adalah negara kapitalis bukanlah bukti bahwa demokrasi mensyaratkan kapitalisme. Kapitalisme bisa kerasan dalam Fasisme, otoritarianisme maupun kesultanan, sebagaimana kapitalisme bisa berdampingan dengan demokrasi. Bisnis tumbuh subur di bawah Hitler, Pinochet ataupun Shah Iran, sebagaimana bisnis juga subur di bawah Jimmy Carter dan Kim Dae Jung. Demokrasi tidak mungkin kerasan dengan otoritarianisme, tetapi kapitalisme bisa sangat akrab dengan kediktatoran. Pokok ini penting untuk konteks Indonesia.      

Sebagaimana kita alami dalam perubahan besar yang baru saja terjadi di Indonesia, tak ada jaminan apapun bahwa kaum kapitalis merupakan kekuatan penggerak demokratisasi. Barangkali karena sebelum sempat bergerak, mereka sudah pingsan lebih dahulu dihajar krisis ekonomi. Namun itu justru menunjukkan bahwa kekuatan mereka bagi proses demokratisasi jauh lebih kecil dibanding yang kita bayangkan. Tentu mereka menyokong beberapa kelompok gerakan dengan sumbangan, tilpon genggam, nasi bungkus, komputer atau fax. Tetapi hal itu juga dilakukan oleh mereka yang bukan para pemodal.

Optimisme bahwa para kapitalis merupakan penggerak demokrasi juga makin perlu dipertanyakan ketika kita melihatnya dalam konteks watak interaksi pelaku bisnis dan pegawai pemerintah yang sudah mengakar di Indonesia. Robison benar ketika menunjuk bahwa asal-muasal para kapitalis Indonesia adalah hubungan kolusif dan nepotis dengan aparatur negara dan militer.

Ketika mereka telah mapan sebagai kapitalis dengan konglomerasi yang sekarang kita kenal, para pengusaha baru coba memasuki arena. Tetapi cara-cara pendahulu mereka untuk menjadi kapitalis telah meninggalkan model tentang bagaimana menjadi kapitalis di Indonesia. Ketika coba memasuki arena bisnis, para pendatang baru menerima model itu sebagai kondisi untuk melakukan bisnis di Indonesia: dari cara mencuri tender, sampai bagaimana melakukan deal dengan petugas pajak. Maka berlangsunglah deretan gejala yang self-reinforcing, bergulir seperti tanpa pelaku lagi. Jadilah sebuah skemata atau struktur tentang cara-cara berbisnis di Indonesia. Tentu ada perbedaan kadar. Misalnya, perusahaan konsultansi biasanya lebih kurang terlibat KKN dibanding perusahaan konstruksi. Namun ketidakterlibatan biasanya lebih merupakan kekecualian.

Keyakinan bahwa para kapitalis merupakan penggerak demokrasi sama dengan, di antaranya, keyakinan bahwa mereka akan menjadi pengoreksi cara-cara interaksi seperti itu. Selamat berharap. Pada hemat saya, para kapitalis tidak punya posisi istimewa apapun dalam proses demokratisasi, apalagi sebagai penggerak. Mereka adalah satu dari sekian banyak kelompok masyarakat lain seperti LSM, mahasiswa, intelektual, organisasi buruh, dsb. Bisa pro, dan bisa juga contra demokrasi. 

Sangat benar bahwa mereka punya posisi khusus yang berakar dari kontrol mereka atas modal. Dan pokok ini penting. Namun hal itu samasekali tidak berarti bahwa mereka lalu memakai kontrol mereka atas modal bagi tujuan demokratisasi, karena mereka juga sangat sering menggunakan kontrol mereka atas modal untuk membunuh demokrasi. Mereka bisa kerasan berbisnis di bawah Fasisme, otoritarianisme dan kesultanan, sebagaimana mereka juga bisa bisnis di bawah demokrasi. Demokrasi atau otoritarianisme memang bukan pokok keprihatinan mereka.

Di Atas Pasir


Gagasan tentang kaitan erat antara demokrasi dan para kapitalis pernah diajukan oleh Barrington Moore, Jr. di tahun 1966 (Social Origins of Dictatorship and Democracy). Banyak refleksi tentang masalah itu kemudian didasarkan pada karya klasik tersebut. Dua tahun lalu, Moore mengajukan refleksi terbarunya dalam Moral Aspects of Economic Growth and Other Essays (1998). Salah satu kesimpulannya mungkin mengejutkan:

“Masalah moral kinerja kapitalis menjadi begitu jelas ketika kita menyadari bahwa kerontokan bisnis merupakan [dan membawa] kegagalan etis. Berdasarkan fakta ini, adalah sebuah kesesatan besar untuk menganggap kegiatan bisnis sebagai sumbangan moral dan penuh berkah bagi kemanusiaan” (hlm. 53).       

 Lalu? Mungkin tinggal dalil di awal tulisan ini: orang tidak hanya hidup dari makanan, tetapi makanan pastilah prasyarat hidup. Di situlah kita menerima historisitas kita dalam fakta bahwa cara memproduksi “makanan” (hal, barang, jasa, informasi) memang makin berlangsung di bawah koordinasi modal para kapitalis. Namun untuk proses historis lain seperti demokratisasi, sebaiknya tidak mengharapkan banyak dari mereka, kecuali tilpon genggam atau nasi bungkus mereka. Tulisan kecil ini diajukan bukan sebagai argumen kontra kapitalis(me), bukan juga anjuran bagi sosialis(me), melainkan satu catatan kritis terhadap keyakinan gegabah bahwa sektor bisnis merupakan penggerak demokrasi. Kalaupun ada, kaitan antara kapitalisme dan demokrasi berupa kaitan tak langsung, yang karena itu perlu kita temukan dan bangun dalam dan bagi kondisi sejarah kita dewasa ini. 

Kalau keyakinan tentang daya dobrak para kapitalis bagi demokratisasi merupakan keyakinan yang dibangun di atas pasir, begitu juga prospek perubahan watak kolusif dari interaksi bisnis-pemerintah yang menggejala di Indonesia. Tentu saja, kecuali kelompok-kelompok non-bisnis dan non-pemerintah bergerak untuk mendesakkan regulasi pada praktik kolusif dalam hubungan antara pelaku bisnis dan aparat pemerintah.

Cara-cara para kapitalis perdana muncul di Indonesia telah menjadi model bagi para pendatang baru. Selama beberapa bulan di tahun 1998 dan 1999, saya melakukan wawancara dengan sekitar 95 pemilik modal, direktur dan manajer berbagai perusahaan di Indonesia. Salah satunya saya datang bertanya pada seorang direktur perusahan menengah di Jakarta (atas nama kode etik, identitas dirahasiakan). Ketika saya bertanya tentang beberapa kasus kongkret mengurus perijinan dan pajak, dia bercerita tentang beberapa peristiwa ketika masih menjadi kepala divisi serta sebuah kasus yang hari itu masih dia urus. Sesudahnya ia seperti menyimpulkan:

“Ada tiga hal penting untuk berbisnis di Indonesia. Satu, apa rule of the game-nya. Dua, kalau rule of the game itu menyangkut kolusi, apakah orang lain melakukannya. Tiga, kalau yang lain melakukan, ya... just do it...” (Direktur, Perusahan alat-alat kantor, Wawancara pribadi, Jakarta, 29 Mei 1998, bahasa Inggris asli dari wawancara yang direkam).  

Sambil tersenyum mengerti maksudnya, saya bilang pada diri: selamat datang ke realitas.     

* B. Herry Priyono, kandidat PhD pada London School of Economics (LSE), Inggris.
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah "Basis" edisi Maret-April 2000.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Web Hosting