Kamis, 29 Desember 2011

Tradisi Punya Rasionalisasinya Sendiri

Oleh George Tarabishi
Pada penghujung dekade 70-an terjadi pergeseran tajam dalam wacana intelektual dunia Arab dan negara-negara Islam pada umumnya. Pergeseran ini antara lain terlihat pada kecenderungan umum para intelektual negara-negara tersebut untuk secara lebih dalam melakukan riset dan penelitian di seputar warisan intelektual orang-orang terdahulu dalam semua lapisan dan aspeknya.
Pendekatan yang mereka gunakan pun beragam. Mulai dari yang murni hasil kreasi sendiri, sampai yang diadopsi dari luar. Ini semua, pada gilirannya, melahirkan apa yang disebut discours of heritage (wacana tradisi). Menurut pengamatan saya, wacana tradisi yang secara gencar membayangi setiap upaya penggalian hasil warisan nenek moyang pada era 80-an itu, hadir di tengah kondisi ketika wacana ideologi--Nasserisme, Ba'thisme, Liberalisisme, dan lain-lain, yang sempat merajalela pada 1950-an dan 1960-an--sedang sekarat. Penyebabnya sangat beraneka ragam.
Pertama, seperti halnya wacana ideologis, dalam wacana tradisi ada dua versi yang berseberangan. Satu versi terlalu Arabsentris. Para penganutnya begitu mengunggulkan peran orang-orang Arab dalam membesarkan warisan budaya Islam. Fokus utama studi mereka hanya pada karya orang-orang Arab. Sementara yang satunya lagi, sangat universalis. Mereka biasanya dikenal sebagai shu'ubiyyin atau anti-Arab.
Di mata kelompok kedua ini, bangsa Arab nyaris tak ada apa-apanya. Oleh karena itu, sasaran riset mereka diarahkan pada kelompok-kelompok yang berada di luar mainstream, seperti kelompok sempalan, revolusioner, dan kelompok-kelompok mistis selain bangsa Arab.
Kedua, wacana tradisi maupun ideologi sama-sama konservatif. Ini terbukti oleh fakta bahwa warisan budaya Arab dan Islam pada akhirnya menjadi ajang pertarungan yang penuh intrik, sebagaimana yang terjadi pada ideologi pada era 50-an dan 60-an.
Karena itu, apa yang sedang berlangsung saat ini saya sebut sebagai "pembantaian tradisi". Sebab, warisan nenek moyang itu kini sedang digerogoti dua ular ganas: ideologisasi dan pemetak-metakan.
Sebaliknya, bagi saya, warisan nenek moyang itu harus kita perlakukan sebagai kesatuan yang utuh. Ibarat gunung, ia punya kaki dan puncak, tanjakan dan turunan, dan lain-lain. Selanjutnya, kita tak bisa, bahkan tak perlu mengidentifikasi diri dengan warisan leluhur, karena manusia tidak mengidentifikasi masa lalu. Memang, manusia adalah unsur pembentuk masa lalu. Tetapi bukan semua manusia. Masa lalu tak mungkin mereduksi semua manusia. Pada diri manusia terdapat semacam sekat yang menghalangi proses reduksi tersebut. Itulah dimensi futuristik dalam diri manusia. Karena itu, kita tak perlu dirisaukan oleh usaha identifikasi terhadap tanjakan atau turunan tradisi kita. Mungkin apa yang kita anggap sebagai tanjakan belum tentu begitu bagi leluhur kita.
Belakangan ini timbul kecenderungan untuk secara gegabah memvonis sebuah aliran tertentu dalam sejarah warisan Islam dengan ini dan itu. Salah satu contohnya adalah apa yang dilakukan Hassan Hanafi, pemikir asal Mesir itu. Ia menuding warisan Asy'ari sebagai dalang di balik runtuhnya tradisi rasionalitas dalam pemikiran Islam. Saya tak sependapat dengan pandangan ini. Saya tak melihat pola pikir Asy'ariyah sebagai sebuah tanjakan atau turunan dalam gunung tradisi pemikiran kita.
Buat saya, yang penting adalah gunung. Toh, dalam tanjakan juga terhampar turunan. Begitu pula sebaliknya. Selain itu--dan ini yang terpenting--dialektika tanjakan-turunan tak selamanya langgeng. Faktor waktu sangat menentukan. Kita, pada era sekarang, bisa saja menilai warisan rasional Mu'tazilah sebagai sesuatu yang sangat berharga. Tetapi, seratus tahun lagi, mungkin muncul penilaian warisan mistis para sufi yang seratus kali lebih berharga dari rasionalisme Mu'tazilah.
Tatkala manusia merasa kenyang akan rasio, ia akan mencari sesuatu di balik rasio. Begitu ia kehilangan rasio, maka ia akan mencarinya kembali. Alhasil, penilaian terhadap Mu'tazilah sekarang ini persis dengan pandangan orang terhadap Asy'ariyah dulu. Dan mungkin juga akan seperti pandangan orang terhadap aliran sufi di masa yang akan datang.
Interpretasi yang terburu-buru dan terpilah-pilah terhadap warisan budaya semestinya dihindari. Setiap warisan itu punya rasionalisasinya sendiri. Ia pun memiliki seonggok rasionalisasi parsial yang terhampar di sekeliling rasio sentral. Cara yang paling baik untuk membaca rasionalisasi sebuah tradisi ialah dengan mengacu pada masanya sendiri, bukan dengan mengacu pada pertentangan ideologis kita saat ini, seputar tradisi.
Upaya memencar-mencarkan bagian-bagian tradisi bisa merusak citra tradisi itu sendiri. Pun, respons kita terhadapnya akan tak beraturan. Dan kesimpulannya, yang rugi adalah kita dan tradisi itu sendiri.
Pemikir asal Suriah. Telah menerbitkan dan menerjemahkan lebih dari 50 buku tentang pemikiran Arab-Islam dan filsafat. Tulisan ini diambil dari majalah Ummat, No. 9 Thn. III, 15 September 1997/13 Jumadil Awal 1418 H, dan pernah dimuat dalam mingguan al-Majalla edisi 17, 23 Agustus 1997.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Web Hosting