Minggu, 25 Desember 2011

Memperjuangkan Kemerdekaan dan Keadilan Kebenaran dan Perdamaian Berdasarkan Kasih

Oleh WARTAWAN ”SH”
SIHAR RAMSES SIMATUPANG

Dahulu kala, Asia–termasuk Indonesia–boleh dibilang sebagai pusat kebudayaan tingkat tinggi dan menjadi kiblat peradaban barat. Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit menyebar kejayaannya hingga ke beberapa wilayah yang sekarang diakui sebagai negara: Malaysia, Burma, Philipina, Thailand, bahkan Australia.

Kejayaan itu akhirnya didekonstruksi oleh invasi Portugis, kolonialisme Belanda, dan tentara sekutu–”saudara tua” Jepang yang sempat menyela hanya memiliki masa tiga tahun untuk berjaya. Tak hanya Indonesia, negara-negara di Asia lain, kecuali Thailand (yang hingga saat ini tak pernah dijajah siapa pun) mengalami peristiwa yang serupa. Gelombang pasukan dari Eropa, Amerika dan negara-negara dari utara terus merangsek.

Kejayaan berbalik arah. Pramoedya Ananta Toer menyajikan realitas sejarah yang terjadi antara negeri-negeri Asia, khususnya Indonesia itu, dalam sebuah epos sejarah, Arus Balik.

Dalam hal pemikiran pun, kejadiannya tak jauh berbeda. Jika sebelumnya, dunia Timur memasok ide-ide baru dari nama-nama besar macam Lao Tze, Kung Fu Tze, Tao, Sang Buddha Gautama, hingga Ranggawarsita, filsuf radikal penentang kerajaan. Di abad ke-20 ini, sebuah ”arus balik” telah menjungkirbalikkannya menjadi sebuah pusaran sejarah baru. Abad global telah menghasilkan idiom semiotika baru yang tiba-tiba akrab di telinga siapa pun, ”milenium.”

Sekadar penggambaran, ungkapan tentang ”kebudayaan post-filosofi” (post-philosophical culture) dari pemikir Richard Rorty bisa jadi menarik untuk disimak. Pandangan gemilangnya tentang budaya masyarakat global sekarang: ”…yang bergerak dengan cepat dari Hemingway ke Proust ke Hitler ke Marx ke Foucault ke Mary Douglas ke situasi Asia Tenggara mutakhir ke Gandhi ke Sophocles…”

Pemikiran bertumpuk sejak masa Plato, Socrates hingga Descartes, idealisme Hegel, materialisme Marx, filsuf eksistensialis Sartre hingga post-strukturalis Lyotard dan Derrida menjadi wacana pustaka dalam kotak memorinya.

Pemikiran filsuf di masa Yunani dan Arab telah ditinggalkan. Pemikiran manusia makin terspesialisasi tetapi justru menyempit dalam ranah kajian. Science (logos) terbagi-bagi dan meninggalkan ibu dari semua pemikiran: filsafat (philosophia).

Pada budaya pemikiran dan penulisan, sejarah manusia modern adalah sebuah museum yang berjalan. Pandangan Galileo Galilei yang menganggap matahari sebagai pusat dan bukannya bumi telah berhasil meruntuhkan pandangan theologis para scholastik di Roma–sekalipun Galileo kemudian dihukum tahanan rumah hingga wafat—pemacu berkembangnya pemikiran humanisme. Rene Descartes (1596-1650) yang mengatakan tentang cogito ergo cum, ”saya berpikir maka saya ada”.

Gebrakan Auguste Comte yang melahirkan Positive Philosophy memunculkan fenomena ilmu masyarakat dengan beragam varian. ”Tuhan telah mati”, ketukan Nietszche menandai optimisme manusia pada kehidupan yang ”meninggalkan” hidup berke-Tuhan-an.

Materi dan Logika
Manusia terus bergerak dengan akalnya. Di antara kognisi, nilai-nilai afektif kerap kelelahan mengimbangi pemujaan manusia pada materi dan logika sebagai wacana dialektika.
Abad industri mesin cetak di Inggris turut membantu penyebaran sebuah pemikiran. Tak bisa dipungkiri, kemajuan dari sebuah karya seni tak lepas dari peradaban teknologi.

Media-media penuangan karya berupa film (kamera dan film bisu), sastra (media kertas), hingga lukisan (tinta, acrylic atau kanvas) adalah fenomena teknologi di dalam peradaban seni.
Di sisi lain, imbas dari teknologi menjadikan fakta di dunia sebagai milik bersama. Realitas kekinian sangat didukung oleh kecepatan informasi dari teknologi canggih. Informasi melalui media televisi, radio, telepon genggam, dan internet telah menghasilkan sebuah realitas baru.

Teknologi berefek pada perpanjangan tangan antara manusia dan karya. Manusia makin terasing dari lingkungannya karena selalu dikelilingi alat-alat teknologi. Fungsi kerja dan karya berganti ”makhluk-makhluk canggih” pengganti manusia, sebuah masyarakat hiper-realis telah lahir di dalam perjalanan sejarah.

Kalabendu
Masih tak lekang dalam ingatan saat Rendra berbicara tentang kondisi di Indonesia yang semakin kehilangan nilai spiritual—sebenarnya bisa dicurigai menjadi dekadensi nilai secara global. Rendra yang pernah menegaskan bahwa dalam situasi ini segala nasehat dan khotbah tak ada faedahnya. Tindakan-tindakan spritual yang lain seperti doa, tolak bala, istigotsah, misa kudus yang khusus, tirakatan bersama, bahkan kotbah ulama dan cendekiawan, tak mempan mencegah orang-orang bertindak edan dan lupa daratan.

Rendra menyebut zaman ini dengan zaman Kalabendu (kelanjutan Kalatida atau zaman Serbaragu) saat disintegrasi sosial dan budaya berlanjut menjadi disintegrasi bangsa dan negara. Di tengah kondisi itu, manusia ternyata tetap berusaha kembali pada kittah-nya. Di negeri mana pun, manusia adalah manusia. Keinginan untuk bermeditasi, bertapa, berdoa, dan bersembahyang adalah salah satu usaha untuk kembali menggali tentang makna kemanusiaan.

Itu juga yang menjadi alasan bagi Richard Gere memeluk agama Buddha, Tom Cruise mencari makna dirinya dalam Scientology, dan mendiang George Harrison menekuni ajaran Krisna. Di negara Amerika, para generasi muda berbondong-bondong memeluk aliran New Age sebagai bentuk spiritual alternatif. Di Indonesia, para remaja mondok di pesantren kilat saat liburan, generasi muda Kristen membuat acara Bible camp dan para remaja Hindu melintas ke Pulau Bali dalam perjalanan spiritualnya ke stupa-stupa.

Keinginan masyarakat modern membuat tenda-tenda untuk bersunyi diri dan melakukan perjalanan spritual merupakan bentuk penghayatan terhadap ”dunia baru” di tengah modernitas perkotaan yang padat. Mengacu pemikiran John Naisbith pada Global Paradoks, bahwa di tengah kecepatan informasi dan kemapanan ekonomi, manusia akan berusaha untuk kembali pada suatu keindahan non-material berupa seni atau kegiatan kerohanian yang lebih membahagiakan batinnya.

Post-Strukturalisme
Di antara persoalan ideologi kebangsaan dan tekanan sosial-budaya, sesungguhnya pada masa globalisasi telah terjadi loncatan besar pada teknologi, intelektualitas, dan sejarah pemikiran sebuah bangsa. Kenyataan yang selama ini diakui di Indonesia berupa pluralitas suku, agama, rasial bahkan antargolongan makin bercabang pada masyarakat di era milenium ketiga. Inilah abad fantasmagoria, percepatan kejadian dan informasi antarbelahan negara di dunia. Bumi adalah sesuatu yang dilipat.

Pemikiran tentang post-strukturalisme yang digelorakan oleh Lyotard, Foucault dan Derrida –Levi Strauss pada bidang antropologi—telah menyebar hingga ke Asia dan mewabah jadi trend di Indonesia, 1980-90-an. Di luar reaksi perjalanan filsafat idealisme Hegel, materialisme Marx, hingga pada ketukan humanisme Nietzsche, post-strukturalisme juga berkembang dalam permaknaan semiotik modern di tangan dua pemikir sezaman yang tidak saling kenal, Charles Sanders Peirce (1839-1914) dan Ferdinand de Saussure (1857-1913). Pada mereka ditekankan efek fungsional, penanda, sumber, dan pola antara pengirim dan penerima.

Saussure berangkat dari pemilahan langage, langue, dan parole. Kesadaran semiotik dioperasionalkan melalui sign, signifier, dan signified atau diterjemahkan sebagai tanda, penanda, dan petanda. Peirce membedakan tiga prinsip hubungan, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Semiotika digerakkan oleh tiga subjek abstrak, yaitu tanda, objek, dan interpretan.

Pada masa perdebatan postmodernisme, pemikiran semiotik modernisme mengalami banyak perubahan dan senantiasa bermetamorfosis. Para pemikir cenderung menekankan konsep tanda berupa apa yang disebut Harland tanda anti sosial, yaitu tanda yang memiliki tiga kualitas utama: berubah, berkembang biak, dan bersifat materi.

Dalam perkembangan itu, setiap perubahan, selain mendatangkan goncangan kemapanan, juga menghasilkan kritik dan kecurigaan. Pada tingkat metodologis muncul tuduhan-tuduhan akan praktek seni dan semiotika postmodern yang dianggap irasional (puitik), ”anti metodologi” (”apapun boleh”), dan ”anti estetika” (kitsch).

Ironisnya, justru semua nilai rasional, metodologis, dan estetika itu kemudian kembali ”didekonstruksi” dan ”didevaluasi” oleh postmodernisme. Pada perkembangan selanjutnya, post-modernisme tak hanya memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk berkreasi, tetapi juga menghasilkan style yang unik dan berbeda terhadap kebebasan kehidupan dan pemikiran.

Pada dunia seni, telah banyak terjadi bentuk pembebasan dengan varian yang jauh dari pakem, style orchestra yang klasik dan individual ditinggalkan, fenomena munculnya musik rap dari kalangan negro perindu kebebasan dan jazz atas keterjepitan budaya sosial, wayang slank jadi sajian nikmat remaja sekarang. Budaya kitsch disambut jadi warga masyarakat modern.

Gaya funky, junkies hingga hippies merambah style hidup manusia modern yang berusaha mencari format dan bentuk demi menjaga kelangsungan sebuah tren. Citraan tertentu sebuah objek bisa melebihi isi dan kualitas sebenarnya, di plaza, toko, pasar, orang menjual iklan, produk pakaian, tubuh wanita cantik dalam manequin.

Hiruk-pikuk dunia seni tari, rupa hingga sastra juga tak lepas dari kontroversi konsep yang lebih menyajikan alternatif pemikiran. Pada masa lalu, klaim bentuk karya seni akan lebih mudah bila dikaitkan dengan benang merah konsep. Lebih mudah untuk berbicara ideologi yang ada di balik sebuah karya ketimbang sisi keindahan karya itu sendiri.

Persoalan sederhana berupa ideologi humanisme universal versus realisme sosial, kini berganti menjadi barisan pemikiran yang lebih rumit. Di antara pijakan pragmatisme dan kapitalisme, lahir pemikiran tentang post-strukturalisme yang memutus sejarah struktur pemikiran.

Sepintas kecemerlangan dari globalisasi dan era milenium, pada implikasi lain bisa dibaca sebagai perubahan sejarah ideologi. Di tingkat makro, sebuah ideologi bersama berupa ”milenium ketiga” yang merupakan produk negara besar telah ”dipaksakan dengan tanpa sadar dan diam-diam”. Abdulhadi WM mengutip sebuah pengertian yang pas buat kondisi ini, pandangan dari Octavio Paz, negara berkembang sesungguhnya terlelap dalam tidur, namun negara modern juga terbuai dalam keterjagaannya.

Percepatan dan Kontemplasi
Percepatan informasi dari teknologi nyatanya mampu memindahkan realitas ke dalam bentuk yang absurd. Orang mudah memindahkan kejadian terorisme di gedung WTC, peperangan di Afghanistan, virus antraks, dan kloning manusia ke sebuah kamar melalui radio, televisi dan surat kabar. Teror, simpati, dan reaksi dari dunia lain bisa dirasakan secepat kilat ke belahan bumi lainnya. Dunia bagaikan sebuah kain, bumi bagai dilipat, perpanjangan tangan dari teknologi telah menyita hampir seluruh hidup manusia. Inilah abad fantasmagoria

Pola di masa lalu, akan lebih muda dilihat terjadinya perdebatan tentang art for mission dan art for art yang terjadi antara kutub besar Soviet dan Amerika di masa lalu—berkembang juga hingga ke Eropa, Asia dan Indonesia. Jagat pemikiran sastrawan di masa itu pun mudah untuk ditarik benang merahnya, mulai dari karya sastra bentuk realisme sosialis Pramoedya Ananta Toer, eksistensialisme Iwan Simatupang, tradisi Umar Kayam dan religiusitas Kuntowijoyo atau YB Mangunwijaya.

Untuk masa sekarang, pola dominan itu akan lebih sulit untuk dipelajari (arbitrer/sesukanya-red). Filsafat ibarat sebuah layar film yang dilihat dari kereta api yang bergerak, sekilas tetapi tak bisa lagi meninggalkan beban. Antara kepadatan filosofi manusia modern dan pragmatisme yang tak mau tahu tetek bengek sejarah pemikiran terlihat pada beberapa penulis muda.

Dewi Lestari yang banyak membaca buku teknologi, membuat karya sastra tanpa perlu referensi sastra dan filsafat dalam Supernova. Novelis Fira Basuki, lewat Jendela-jendela, mewakili masyarakat urban kosmopolit asal Indonesia yang bercerita soal empiris hidupnya, berkarya dan mengadu kualitas melalui segmen pasar dengan tanpa menjenguk banyak tentang sejarah sastra.

Rieke Diah Pitaloka dengan puisi dan Dewi Lestari dari kalangan selebriti mengaku tak banyak bergaul dengan kalangan komunitas sastrawan sebelumnya. Toh, karya-karya mereka juga mendapat pujian (meski juga ada yang memandang sebelah mata). Melihat pola percepatan informasi yang sedemikian deras, akankah karya-karya selanjutnya bersifat instan? Sepertinya begitu. ***

Copyright © Sinar Harapan 2001

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0112/21/sh04.html

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Web Hosting