Kamis, 29 Desember 2011

MENGENANG NURCHOLIS MADJID

Laporan Abu Qori
Polemik mengenai pikiran Nurcholish Madjid sudah berlangsung sejak 1970-an
ketika ia melontarkan gagasan tentang sekularisasi, yang kemudian dibantah
oleh Prof Dr HM Rasjidi, mantan Menteri Agama RI yang pertama.
 
Para penentang keras lainnya tercatat nama-nama: Endang Saefuddin Anshari,
Abdul Qadir Djaelani, Hartono Ahmad Jaiz, Adian Husaini, Daud Rasyid, Abu
Ridho dan Muhammad Yaqzhan, Hidayat Nur Wahid, Adnin Armas, Syamsuddin Arif,
Hamid Fahmi Zarkasyi (tiga nama terakhir bukan langsung menghadapi
Nurcholish namun mengkritrik pemahaman model Nurcholish) dan masih banyak
nama lainnya.
 
Hidayat Nur Wahid, waktu awal-awal baru pulang dari Madinah tahun 1992,
termasuk penentang Cak Nur, tapi belakangan ini tidak, bahkan ketika matinya
Nurcholish Madjid, Senin 29 Agustus 2005, HNW yang jadi ketua MPR
menyampaikan kata-kata yang banyak mengandung pujian lewat radio swasta di
Jakarta.
 
Kritikan lewat pengajian-pengajian pun banyak, di antaranya dilakukan oleh
KH Abdul Rasyid AS, KH Ahmad Kholil Ridwan, H Husen Umar, Abdul Hakim Abdad,
Zainal Abidin dan mubaligh-muballigh Jakarta lainnya. Dari Bandung, ada KH
Athian Ali Da’i, Heddy Muhammad, dan lain-lain.
 
Meskipun banyak musuhnya, Nurcholish Madjid juga ada pembela-pembelanya,
bahkan pemujinya. Yang sangat memuji Nurcholish Madjid adalah tokoh Katolik,
Romo Frans Magnis Suseno, yang menyarankan agar faham teologi inklusivisme
Nurcholish Madjid diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan Inggris.
Inklusivisme dimaksud adalah, agama saya (Islam) mungkin salah, agama orang
lain mungkin betul, maka saling mengisi.
 
Ini sama dengan tidak meyakini kebenaran Islam secara mutlak, dan meragukan
kebenaran mutlak Al-Qur’an.
 
Dawam Rahardjo juga membela sejadi-jadinya. Sehari setelah meninggalnya
Nurcholish Madjid, tulisan Dawam di halaman depan harian Media Indonesia 30
Agustus 2005 terpampang judul SANG PEMBARU. Dawam menegaskan, "agar terjadi
penyegaran pemikiran, Cak Nur mengusulkan dilakukannya liberalisasi dan
sekulerisasi." Juga menurut Dawam, lahir gagasan Nurcholish Madjid mengenai
pluralisme agama. Dawam tidak malu-malu menjunjung Nurcholish Madjid dengan
sekulerisasinya, liberalisasi, dan pluralisme agama yang diusung Nurcholish
Madjid. Padahal itu semua telah diharamkan oleh Fatwa MUI dalam Munas ke-7
di Jakarta 26-29 Juli 2005, karena paham itu menurut Fatwa MUI bertentangan
dengan Islam.
 
Di antara pembela Nurcholish Madjid adalah Luthfi Assyaukanie yang bekerja
di Paramadina Mulia yang rektornya adalah Nurchlish Madjid. Luthfi membela
Nurcholish di antaranya kami kutipkan tulisannya sebagai berikut:
"Penyakit "mensetankan orang" juga menghinggapi sebagian kaum terpelajar
Muslim di Indonesia, yang merasa terkejut dan tak aman karena berhadapan
dengan dunia di sekelilingnya yang dianggap mengancam. Dalam sebuah artikel
pendek, saya menemukan seorang pelajar Muslim (yang sebetulnya tidak bodoh,
karena terbukti telah menggondol gelar PhD), yang membuat tulisan sangat
provokatif, berjudul "Diabolisme Intelektual" (Intelektual Pemuja Iblis).
Dalam tulisan itu, ia mengerahkan seluruh energi amarahnya untuk mensetankan
siapa saja yang dianggapnya sesat. Dengan memilih potongan-potongan ayat
Al-Qur’an (yang pasti diseleksi dengan tidak jujur), dia menganggap para
tokoh pembaru Islam seperti Nurcholish Madjid, sebagai setan dan iblis. Tak
sampai di sini, dia juga mensetankan beberapa ulama besar Islam seperti
Suhrawardi dan Hamzah Fansuri, karena dianggap sebagai orang-orang yang
menyimpang dari ajaran Islam." (Demonisasi Oleh Luthfi Assyaukanie Editorial
JIL, 20/06/2005).
 
Cendekiawan Iblis
 
Luthfi menulis seperti itu gara-gara ada tulisan yang menyoroti tentang
adanya cendekiawan Iblis. Cuplikannya sebagai berikut:
 
Tidak sulit untuk mengidentifikasi cendekiawan bermental Iblis. Sebab,
ciri-cirinya telah cukup diterangkan dalam al-Qur’an sebagai berikut.
Pertama, selalu membangkang dan membantah (6:121). Meskipun ia kenal, tahu
dan faham, namun tidak akan pernah mau menerima kebenaran. Seperti ingkarnya
Fir’aun berikut hulu-balangnya, zulman wa ‘uluwwan, meskipun dan padahal
hati kecilnya mengakui dan meyakini (wa istayqanat-ha anfusuhum).
 
Maka selalu dicarinya argumen untuk menyanggah dan menolak kebenaran demi
mempertahankan opininya. Sebab, yang penting baginya bukan kebenaran, akan
tetapi pembenaran. Jadi, bukan karena ia tak tahu mana yang benar, tetapi
karena ia memang tidak mau mengikuti dan tunduk pada kebenaran itu. Jadi
jangan heran bila selalu saja ada cendekiawan yang meskipun nota bene
Muslim, namun sifatnya seperti itu. Ideologi dan opini pemikirannya yang
liar lebih ia pentingkan dan ia pertahankan ketimbang kebenaran dan aqidah
Islamnya. Dalam tradisi keilmuan Islam, sikap membangkang semacam ini
disebut juga al-‘inadiyyah (Lihat: Abu Hafs Najmuddin Umar ibn Muhammad
an-Nasafi (w. 537 H/1142 M), al-‘Aqa’id, dalam Majmu, min Muhimmat al-Mutun,
Kairo: al-Matba’ah al-Khayriyyah, 1306 H, hlm. 19).
 
Kedua, intelektual diabolik bersikap takabbur (sombong, angkuh, congkak,
arogan). Pengertian takabbur ini dijelaskan dalam hadis Nabi SAW yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim (no.147): "Sombong ialah menolak yang haq dan
meremehkan orang lain (al-kibru batarul-haqq wa ghamtu n-nas)". Akibatnya,
orang yang mengikuti kebenaran sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an atau
hadis Nabi SAW dianggapnya dogmatis, literalis, logosentris, fundamentalis,
konservatif dan lain sebagainya.
 
Sebaliknya, orang yang berpikiran liberal, berpandangan relativistik dan
skeptis, menghujat al-Qur’an maupun Hadis, meragukan dan menolak
kebenarannya, justru disanjung sebagai intelektual kritis, reformis dan
sebagainya, meskipun terbukti zindiq, heretik dan bermental Iblis. Mereka
bermuka dua, menggunakan standar ganda (2:14). Mereka menganggap orang
beriman itu bodoh, padahal merekalah yang bodoh dan dungu (sufaha’).
 
Intelektual semacam inilah yang diancam Allah dalam al-Qur’an (7:146): "Akan
Aku palingkan mereka yang arogan tanpa kebenaran itu dari ayat-ayat-Ku.
Sehingga, meskipun menyaksikan setiap ayat, tetap saja mereka tidak akan
mempercayainya. Dan kalaupun melihat jalan kebenaran, mereka tidak akan mau
menempuhnya. Namun jika melihat jalan kesesatan, mereka justru
menelusurinya."
 
Ciri yang ketiga ialah mengaburkan dan menyembunyikan kebenaran (talbis wa
kitman al-haqq). Cendekiawan diabolik bukan tidak tahu mana yang benar dan
mana yang salah. Namun ia sengaja memutarbalikkan data dan fakta. Yang batil
dipoles dan dikemas sedemikian rupa sehingga nampak seolah-olah haq.
 
Sebaliknya, yang haq digunting dan di-‘preteli’ sehingga kelihatan seperti
batil. Ataupun dicampur-aduk dua-duanya sehingga tidak jelas lagi beda
antara yang benar dan yang salah. Strategi semacam ini memang sangat efektif
untuk membuat orang lain bingung dan terkecoh. Contohnya seperti yang
dilakukan oleh para pengasong gagasan inklusivisme dan pluralisme agama.
Mereka mengutip ayat-ayat al-Qur’an (2:62 dan 5:69) untuk menjustifikasi
pemikiran liarnya, untuk mengatakan semua agama adalah sama, tanpa
mempedulikan konteks siyaq, sibaq dan lihaq maupun tafsir bi l-ma’tsur dari
ayat-ayat tersebut. Sama halnya yang dilakukan oleh para orientalis Barat
dalam kajian mereka terhadap al-Qur’an dan Hadis. Mereka mempersoalkan dan
membesar-besarkan perkara-perkara kecil, mengutak-atik yang sudah jelas dan
tuntas, sambil mendistorsi dan memanipulasi (tahrif) sumber-sumber yang ada.
Hal ini tidak terlalu mengejutkan, mengingat kebanyakan mereka adalah Yahudi
dan Nasrani yang karakternya telah dijelaskan dalam al-Qur’an 3:71, "Ya ahla
l-kitab lima talbisuna l-haqq bi l-batil wa taktumu l-haqq wa antum ta’
lamun?" Yang sangat mengherankan ialah ketika hal yang sama dilakukan oleh
mereka yang zahirnya Muslim.
 
Karena watak dan peran yang dilakoninya itu, Iblis disebut juga Setan
(syaytan), kemungkinan dari bahasa Ibrani ‘syatan’, yang artinya lawan atau
musuh (Lihat: W. Gesenius, Lexicon Manuale Hebraicum et Chaldaicum in
Veteris Testamenti Libros). Dalam al-Qur’an memang ditegaskan bahwa setan
adalah musuh nyata manusia (12:5, 17:53 dan 35:6). Selain pembangkang
(‘asiyy), setan berwatak jahat, liar, dan kurang ajar (marid dan marid).
Untuk menggelincirkan (istazalla), menjerumuskan (yughwi) dan menyesatkan
(yudillu) orang, setan juga memakai strategi. Caranya dengan menyusup dan
mempengaruhi (yatakhabbat), merasuk dan merusak (yanzagh), menaklukkan
(istahwa) dan menguasai (istah’wadza), menghalang-halangi (yasudd) dan
menakut-nakuti (yukhawwif), merekomendasi (sawwala) dan menggiring (ta’uzz),
menyeru (yad’u) dan menjebak (yaftin), menciptakan imej positif untuk
kebatilan (zayyana lahum a’malahum), membisikkan hal-hal negatif ke dalam
hati dan pikiran seseorang (yuwaswis), menjanjikan dan memberikan
iming-iming (ya’iduhum wa yumannihim), memperdaya dengan tipu muslihat
(dalla bi-ghurur), membuat orang lupa dan lalai (yunsi), menyulut konflik
dan kebencian (yuqi’u l-‘adawah wa l-baghda’), menganjurkan perbuatan
maksiat dan amoral (ya’mur bi l-fahsya’ wa l-munkar) serta menyuruh orang
supaya kafir (qala li l-insani-kfur).
 
Nah, trik-trik inilah yang juga dipraktekan oleh antek-antek dan
konco-konconya dari kalangan cendekiawan dan ilmuwan. Mereka disebut awliya’
al-syaytan (4:76), ikhwan al-syaytan (3:175), hizb al-syaytan (58:19) dan
junudu Iblis (26:94). Mereka menikam agama dan mempropagandakan pemikiran
liar atas nama hak asasi manusia (HAM), kebebasan berekspresi, demokrasi,
pembaharuan, pencerahan ataupun penyegaran. Semua ini sebenarnya bukan
sesuatu yang baru atau pertama kali terjadi, seperti segera diketahui oleh
setiap orang yang membaca sejarah pemikiran Islam. Semuanya merupakan
repetisi dan reproduksi belaka. History repeats itself, kata pepatah bule.
Hanya pelakonnya yang beda, namun karakter dan perannya sama saja. Ada Fir’
aun dan ada Musa as. Muncul Suhrawardi al-Maqtul, tetapi ada Ibn Taymiyyah.
Lalu lahir Hamzah Fansuri, namun datang ar-Raniri, dan seterusnya. Al-Qur’an
pun telah mensinyalir: "Memang ada manusia-manusia yang kesukaannya
berargumentasi, menghujat Allah tanpa ilmu, dan menjadi pengikut setan yang
durhaka. Telah ditetapkan atasnya, bahwa siapa saja yang menjadikannya
sebagai kawan, maka akan disesatkan olehnya dan dibimbingnya ke neraka"
(22:3-4). Maka kaum beriman diingatkan agar senantiasa menyadari bahwa
"sesungguhnya setan-setan itu mewahyukan kepada kroninya untuk menyeret
kalian ke dalam pertengkaran. Jika dituruti, kalian akan menjadi orang-orang
yang musyrik" (6:121). Ini tidak berarti kita dilarang berpikir atau
berijtihad. Berpendapat boleh saja, asal dengan ilmu dan adab. Wallahu a’
lam.
(Syamsuddin Arif, Diabolisme Intelektual, Kamis, 30 Juni 2005,
hidayatullah.com, penulis adalah peneliti INSISTS, kini menempuh program
doktor keduanya di Universitas Frankfurt, Jerman).
 
Pembela Nurcholish Dibantah
 
Luthfi yang dari Paramadina rupanya disahut Adian Husaini dari INSIST,
cuplikannya sebagai berikut:
 
Tulisan "Diabolisme Intelektual" sangat bagus, jelas, jernih, dan punya
sikap, yang salah dikatakan salah. Perlu disebut bagian mana dari tulisan
itu yang salah. Iblis tidak malu-malu dan bersikap fair menyatakan dirinya
sebagai Iblis dan terus terang berjanji akan menyesatkan manusia. Yang repot
jika pengikut Iblis justru mengaku sebagai penyeru kebenaran dan
kemaslahatan. Tapi, al-Quran sudah mengingatkan dan memberi ciri-ciri yang
gamblang makhluk jenis ini yang disebut sebagai "munafik". Jadi, tidak usah
ragu-ragu melakukan demonisasi, meskipun juga harus hati-hati. Saran saya,
agar tidak rumit, yang Iblis, ngakulah Iblis, yang memang setan, katakan
setan, siapa yang kafir, ngakulah kafir. Tidak usah ragu-ragu, masing-masing
sudah ada tempatnya. Yang paling ditakutkan oleh Rasulullah saw adalah
"kullu munafiqin ‘aliimul lisaan." (insistnet at yahoogroups.com, adian
husaini).
Sebenarnya Syamsuddin Arif tidak menulis secara eksplisit nama Nurcholish
Madjid. Tetapi justru Luthfi yang menulis nama itu. Adian Husaini pun hanya
menyarankan agar mereka mengaku saja, karena iblis juga mengaku akan
menyesatkan orang.
 
Polemik ini cukup sengit di saat Nurcholish Madjid sedang sakit, yang dua
bulan kemudian dia meninggal dunia di rumah sakit Pondok Indah Jakarta,
Senin 29 Agustus 2005 jam 14.10. Nurcholish sebelumnya, 13 bulan sebelum
meninggalnya, hatinya dicangkok (diganti) dengan hati orang Cina di
Tiongkok, kemudian dirawat di Singapura selama sekitar 7 bulan.
 
Sekularisasi dan Cangkok Hati
 
Dalam buku Ada Pemurtadan di IAIN karya Hartono Ahmad Jaiz dikemukakan:
Nurcholish Madjid, dosen di IAIN Jakarta, pendiri Yayasan Wakaf Paramadina
dan rektor Universitas Paramadina Mulya Jakarta. Pada saat naskah ini
ditulis, dia sedang dirawat sudah 3 bulan, dan dicangkok hatinya dengan hati
orang Cina Tiongkok di Cina lalu dibawa ke rumah sakit di Singapura untuk
perawatan saluran pencernaan yang terserang infeksi.
Nurcholish Madjid dulu (1970) mencoba mengemukakan gagasan "pembaharuan" dan
mengecam dengan keras konsep negara Islam sebagai berikut: "Dari tinjauan
yang lebih prinsipil, konsep "Negara Islam" adalah suatu distorsi hubungan
proporsional antara agama dan negara. Negara adalah salah satu segi
kehidupan duniawi yang dimensinya adalah rasional dan kolektif, sedangkan
agama adalah aspek kehidupan yang dimensinya adalah spiritual dan pribadi."
[1]
 
Pada tahun 1970 Nurcholish Madjid melontarkan gagasan "Pembaharuan Pemikiran
Islam". Gagasannya itu memperoleh tanggapan dari Abdul Kadir Djaelani,
Ismail Hasan Meutarreum dan Endang Saifuddin Anshari. Sebagai jawaban
terhadap tanggapan itu Madjid mengulangi gagasannya itu dengan judul "Sekali
lagi tentang Sekularisasi". Kemudian pada tanggal 30 Oktober 1972, Madjid
memberikan ceramah di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dengan judul
"Menyegarkan Faham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia". Salah satu
kekeliruan yang sangat mendasar dari Nurcholish Madjid ialah pemahamannya
tentang istilah "sekularisasi". Ia menghubungkan sekularisasi dengan tauhid,
sehingga timbul kesan "seolah-olah Islam memerintahkan sekularisasi dalam
arti tauhid". [2]
 
Di samping itu Nurcholish mengemukakan bahwa Iblis kelak akan masuk surga.
Ungkapannya yang sangat bertentangan dengan Islam itu ia katakan 23 Januari
1987 di pengajian Paramadina yang ia pimpin di Jakarta. Saat itu ada
pertanyaan dari peserta pengajian, Lukman Hakim, berbunyi: "Salahkah Iblis,
karena dia tidak mau sujud kepada Adam, ketika Allah menyuruhnya. Bukankah
sujud hanya boleh kepada Allah?" Dr. Nurcholish Madjid, yang memimpin
pengajian itu, menjawab dengan satu kutipan dari pendapat Ibnu Arabi, dari
salah satu majalah yang terbit di Damascus, Syria bahwa: "Iblis kelak akan
masuk surga, bahkan di tempat yang tertinggi karena dia tidak mau sujud
kecuali kepada Allah saja, dan inilah tauhid yang murni." Nurcholis juga
mengatakan, "Kalau seandainya saudara membaca, dan lebih banyak membaca
mungkin saudara menjadi Ibnu Arabi. Sebab apa? Sebab Ibnu Arabi antara lain
yang mengatakan bahwa kalau ada makhluk Tuhan yang paling tinggi surganya,
itu Iblis. Jadi sebetulnya pertanyaan anda itu permulaan dari satu tingkat
iman yang paling tinggi sekali. Tapi harus membaca banyak." [3]
 
Itulah ungkapan pembela Iblis. Padahal Iblis jelas kafir, dan yang kafir itu
menurut QS Al-Bayyinah ayat 6 tempatnya di dalam neraka jahannam
selama-lamanya.
"Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu
kepada Adam,’ maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan
adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir." (QS Al-baqarah: 34).
"Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik
(akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah
seburuk-buruk makhluk." (QS Al-Bayyinah (98: 6).
 
Masalah hati Nurcholish Madjid dicangkok dengan hati Cina di Negeri Cina,
ada yang mengaitkan dengan kualatnya Nurcholish Madjid dalam beberapa hal:
Pertama: Nurcholish Madjid mempidatokan di universitas-universitas terkemuka
di Eropa, Ramadhan 2002, bahwa Islam adalah agama hibrida. Pidatonya itupun
dimuat di situs JIL, islamlib.com. Nurcholish Madjid hanya mengemukakan
secuil bukti yang dia ada-adakan, yaitu katanya, di Al-Qur’an ada lafal
qisthas dari bahasa Yunani Justis yang artinya adil. Dan di Al-Qur’an ada
lafal kafuro, menurut Nurcholish, dari bahasa Melayu, kapur barus. Dua
potong kata yang tanpa bukti ilmiah itu kemudian Nurcholish simpulkan bahwa
Islam adalah agama hibrida, maka bukan Islamnya yang hibrida, tapi hati dia
yang dihibrida dengan hati Cina Komunis.
 
Kedua, di tahun 1980-an, Bambang Irawan Hafiluddin gembong Islam Jama'ah dan
Hasyim Rifa’i da’i Islam Jama’ah (keduanya kemudian keluar dari Islam Jama’
ah karena menyadari aliran yang kini bernama LDII itu benar-benar sesat
jauh) berkunjung ke rumah Nurcholish Madjid di Tanah Kusir Jakarta Selatan.
Kedua tamu ini kaget ketika Nurcholish Madjid mereka tanya, Negara mana yang
di dunia ini pantas untuk ditiru sebagai teladan. Ternyata jawaban
Nurcholish: Negara Cina Tiongkok, karena di sana tidak ada perzinaan,
pencurian dan sebagainya. Kedua tamu ini terheran-heran. Sampai dua puluh
tahun keheranannya itu baru terjawab ketika mereka mendengar berita bahwa
Nurcholish Madjid hatinya dicangkok dengan hati Cina Komunis di negeri Cina,
tahun 2004. Jadi Nurcholish Madjid benar-benar mendapatkan hati teladan
(impiannya?).
 
Ketiga, Nurcholish Madjid menuduh PKI (Partai Komunis Indonesia) terhadap
anak-anak Ma’had Al-Qolam Pasar Rumput Jakarta yang memberikan brosur kepada
Nurcholish Madjid berupa jawaban/bantahan atas ungkapan Nurcholish Madjid
bahwa Iblis kelak akan masuk surga. Peristiwa tuduhan PKI yang terlontar
dari mulut Nurcholish Madjid terhadap santri-santri yang berlangsung di
tahun 1987 itu ternyata berbalik ke diri Nurcholish Madjid bahwa hati dia
dicangkok dengan hati orang Cina Tiongkok yang komunisnya asli, bukan
assembling seperti PKI. Debat dan tuduhan Nurcholish Madjid terhadap
santri-santri itu dimuat di buku Menangkal Bahaya JIL dan FLA, 2004.
 
Demikian tulis Hartono Ahmad Jaiz dalam buku ada Pemurtadan di IAIN, tebitan
Pustaka Al-Kautsar, Jakarta 2005.
 
Dua hari menjelang meninggalnya Nurcholish Madjid, Koran Indopos (Sabtu, 27
Agustus 2005) memberitakan, Nadia binti Nurcholish Madjid, dan Akbar Tanjung
teman Nurcholish mengatakan bahwa wajah Nurcholish Madjid tampak lebih
hitam. "Dibandingkan sebelumnya (wajahnya) kelihatan lebih hitam," ujar
Akbar. (Abu Qori).

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Web Hosting